Sabtu, 08 Oktober 2011

Puisi Faisal Kamandobat



ORANG-ORANG CACAT


   Si Bisu:

      Sepuluh jemari tangan kujadikan lidah
      untuk meluncurkan setiap kata pada dunia
      kerdipan mata kujadikan bahasa
      agar kau yang menatapku memahami hidupku.

      Jika jemari tanganku patah
      jemari kakiku akan mengganti perannya:
      tanpa masalah kutaruh kata-kata di kakiku
      ia sudah biasa bercakap-cakap dengan mataku
      setiap kali mecari jalan yang mungkin dilalui.

      Jika rasa lapar mengembara—
      karena mulutku bisu,
      perutku bergemuruh memanggil makanan:
      datanglah nasi diantar tanganku
      menyertainya lauk dan sayuran,
      sendok mengangkat mereka ke mulut
      sedang perutku menyediakan kantongnya
      lengkap dengan usus dan empedu
      gejolak paru-paru dan lambung berdenyut.

      Semua berjalan dengan baik dan lancar:
      aku tak perlu menuntut lebih pada mulutku
      mulutku tak perlu meminta maaf pada kebisuanku.



   Si Tuli:

      Telingaku kelopak yang tak kenal rintih angin
      menempel di kepalaku seperti bunga yang mekar,
      membuat wujudku tampak pantas
      walau dengan lubang suara yang buntu:
      mungkin agar dunia tidak menggangguku
      dengan kata-kata tanpa makna dan rencana.

      Orang tuli, semua memanggilku!
      Mereka pikir aku tak tahu suara mereka.
      Mereka pikir aku sungguh tak bisa mendengar.
      Mereka tak tahu aku mendengar lewat mata
      tatapanku menangkap denyut tiap suara
      yang mengancam ketenangan hidupku.


   Si Buta:

      Benarkah dunia ini punya siang punya malam
      memancar dari matahari dan bulan?
      Kebutaan menanamku dalam gelap
      di dasar dunia sekelam akhirat.

      Aku merasakan matahari lewat panasnya
      yang membakar bagai daging di atas nasib,
      sedang parasnya yang putih dan lembut
      kudengar dari nyanyian burung di angkasa
      sepulang mencari biji-bijian untuk anaknya.

      Bila aku menjelma burung
      akan kukelilingi dunia dengan mata-tertutup
      dan kusingkap mata angin dengan sayapku.
      Sepulang dari petualanganku
      akan kuceritakan segala yang di bumi dan langit
      agar tak seorang pun mempercayai kebutaanku.

      Tapi bila aku mati dihantam badai di angkasa
      dan bumi tak menerima mayatku
      matahari akan menguburku dalam cahaya
      dan angin menerbangkan jiwaku
      kepada kalian yang bekerja siang dan malam.


   Si Pincang:

      Sungguh mati aku lelaki tanpa kaki
      dengan lutut terpotong berjalan di muka bumi
      merasa terhormat seperti mereka yang bercelana
      merasa terhormat seperti celana di kaki mereka.

      Bagaimana aku bisa meninggalkan kampungku
      hingga terdampar di kota ini?
      Terimakasih sepasang kakiku yang patah
      yang menancap di tubuhku
      hingga membuatku seperti bersayap!


   Si Gila:

      Betapa lezat nafas yang berlayar
      ke dalam tubuh ini, betapa lezat makanan!

      Maafkan aku tanganku, kasihan kau kakiku!
      Sejenak kulupakan kalian semua:
      baru saja aku makan langsung dengan mulut
      tanpa memerintah tanganku bekerja
      sedang belum lama ini aku berjalan seperti ular
      melupakan kaki yang biasa membawaku pergi

      Matahari bulat, ampuni kegilaan ini!
      Demi sinarmu yang bersumber dari pantulan mataku
      demi garismu yang tak terputus waktu
      gantunglah mimpiku di angkasa!

      Hari-hari mengunjungiku, aku tetap begini adanya
      orang-orang meninggalkanku
      di tempat yang bagus ini.
      Bila mereka kembali, akan kukatakan
      aku hanya menganggap mereka debu,
      dan bila mereka berkenan hidup bersamaku
      akan kusulut mimpiku di kepala mereka
      agar otak mereka menyala menjadi matahari!


Koor:

      Kami orang-orang cacat
      selalu salah menggunakan tubuh kami:
      Si Bisu menggunakan jemari untuk berkata
      agar Si Tuli mendengar dengan mata
      lengan tangan jadi petunjuk bagi Si Buta
      agar si Pincang berjalan dengan jiwanya
      bernyanyilah Si Gila di tengah liar dunia

      Kami orang-orang cacat
      pandangan kalian membuat kami istimewa:
      memberi penjara dan rumah sakit jiwa.
      Di dunia mana kami dapat hidup?
      Di hati siapa jiwa kami dibangkitkan?
      Kami ingin mengucapkan terimakasih pada dunia,
      walau dengan tubuh tak sempurna
      semoga dapat melengkapi milik kami yang hilang.

   2005

1 komentar:

Dwi Istanto mengatakan...

ini bijak sekali... aku suka puisi ini. sederhana...

aku ingat, rodrigo. seorang komposer buta sejak berusia 3 tahun. dia komposer terkenal dari spanyol. dan beruntunglah mereka yang berumur panjang, karena mungkin membutuhkan lebih dari 30 tahun untuk memahami musik klasik. tapi kalau sepanjang hayat tidak juga memahami, bisa jadi kita lebih cacat ketimbang rodrigo. terimakasih.

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer