Pentas 11 Dhalang dalam 500 tahun Sunan Kalijaga |
Retno Iswandari
Santri Pesantren Kaliopak Jogja; Mahasiswa Pascasarjana FIB UGM
Serangkaian acara peringatan 500 Tahun Sunan Kalijaga telah dilaksanakan pada tanggal 18-31 Juli 2011. Rangkaian acara yang bertema ‘Meneguhkan Jati Diri Bangsa dan Hikmah Bhineka Tunggal Ika’ ini meliputi Lampah Ratri (berjalan pada malam hari dari Pesantren Kaliopak sampai Kraton Yogyakarta), pagelaran wayang kulit lakon-lakon ajaran Sunan Kalijaga (selama 11 malam dengan 11 lakon dan 11 dalang), pentas seni, diskusi, sarasehan nasional, dan sema’an Al-Qur’an. Acara tersebut terselenggara atas kerjasama Pesantren Kaliopak dan Lesbumi DIY.
Sebagai tasyakuran atas terlaksananya rangkaian acara 500 Tahun Sunan Kalijaga itu, Pesantren Kaliopak menyelenggarakan acara Silaturahim dan Sarasehan Para Kiai dan Dalang se-Jawa dengan tema ‘Meneguhkan Peran Kiai dan Dalang sebagai Penerus Perjuangan Sunan Kalijaga’. Acara ini dihadiri oleh sejumlah kiai dan dalang dari berbagai daerah di Jawa, serta para tamu undangan dari berbagai kalangan, di antaranya seniman, budayawan, dan akademisi. Acara sarasehan ini menghadirkan dua pembicara, yakni K.H. A. Mustofa Bisri dan Ki Sutarko Hadiwacono, yang masing-masing mewakili kalangan kiai dan dalang.
Acara yang berlangsung pada Jumat, 23 September 2011, pukul 20.00—00.00 WIB di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Bantul, dibuka dengan Sholawatan Jawa dan Hadroh, dan dilanjutkan dengan sambutan dari Muhammad Jadul Maula sebagai pengasuh Pesantren Kaliopak dan Ketua Lesbumi DIY serta sambutan dari K.H. Syakir Ali selaku wakil ketua PWNU DIY. Jadul Maula menyampaikan kepeduliannya pada permasalahan sosial berkaitan dengan jati diri bangsa yang kian kabur. Acara ini dimaksudkan untuk mengajak semua kalangan, khususnya kiai dan dalang, untuk meneguhkan kembali peran mereka dalam masyarakat sebagai penerus perjuangan Sunan Kalijaga. Pesantren Kaliopak, Lesbumi DIY, dan berbagai pihak yang terkait pun berharap, acara peringatan 500 Tahun Sunan Kalijaga dapat dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang.
Dimoderatori oleh penggiat budaya Jawa, Herman Sinung Janutama, acara sarasehan berlangsung penuh greget. K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) membuka sarasehan dengan humor-humor di kalangan kiai dilanjutkan dengan keprihatinannya atas kondisi dan permasalahan yang terjadi dalam pemerintahan dan masyarakat Indonesia sekarang. Hal tersebut dibenarkan dan disambung oleh Ki Sutarko Hadiwacono yang menyampaikan gagasan-gagasannya dalam bahasa Jawa. Ki Sutarko juga menyampaikan berbagai humor di dunia pedalangan dan dunia kebahasaan. Beliau juga menyatakan bahwa yang hilang dalam masyarakat kita sekarang adalah pendidikan moral. Dalang sebagai salah satu pemegang peran dalam hal ini mestinya terus belajar dan mengikuti perkembangan.
Berbagai pertanyaan penting muncul, di antaranya dari kalangan kiai yang disampaikan oleh K.H. Muhaimin yakni bagaimana mempertemukan kembali agama dan budaya. Demikian juga dari kalangan dalang yang disampaikan oleh Ki Slamet Gundono, yakni bagaimana strategi kebudayaan kita—mengingat Sunan Kalijaga dulu juga seorang ahli strategi.
Dari sarasehan ini keduanya sampai pada kesimpulan bahwa peran kiai dan dalang dalam kehidupan sosial sebenarnya sama, yakni menyampaikan ajaran-ajaran moral dan mengajak pada keluhuran budi. Oleh karenanya, sudah selayaknya kedua pihak dapat bergandengan bersama melaksanakan peran tersebut di tengah masyarakat kita.
(Retno Iswandari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar