Sabtu, 01 Oktober 2011

Cerpen: Almaut Sang Penyamar


Oleh Faisal Kamandobat

Maut adalah orang buta
yang melihat dengan ujung jari
menudingmu
 
Awalnya, cerita seputar Almaut beredar di sebuah kafe di Kairo yang terletak di lorong panjang yang mengalir di antara rumah-rumah lapuk dari tanah liat. Seorang jurnalis Inggris turut hadir di kafe itu untuk mendengar riwayat Almaut dari seorang juru cerita buta yang matanya selalu menerawang kosong. Juru cerita itu seorang lelaki tua yang khas: berjenggot panjang, beralis tebal, memakai gamis gelap, dan selalu membawa pipa hashis di tangannya. Setiap malam, lelaki tua itu berkunjumg ke kafe al-Mustathraf untuk minum kopi. Jika seorang pemain rebana dan penyair jalanan menyusulnya ke kafe, maka orang-orang segera berduyun-duyun untuk mendengar hikayat-hikayat, dongeng-dongeng, serta kisah-kisah misterius, yang meluncur dari mulut lelaki tua itu yang penuh bualan.


Jurnalis Inggris yang hadir di sana bernama Richard Blind. Ia telah lama tinggal di Kairo dan memutuskan Mesir sebagai tanah airnya yang kedua setelah Britania Raya. Blind, di samping seorang wartawan yang bekerja berdasarkan fakta, adalah juga seorang kolektor khayalan yang sedang menyusun proyek penulisan ensiklopedi fiksi-fiksi liar yang berhamburan di suku-suku nomada jazirah Arabia. Dan lelaki tua yang ditemuinya malam itu di kafe al-Mustathraf adalah narasumber penting, karena menurut Blind, memori dalam cangkang otak lelaki tua itu merupakan muara yang menampung kisah dan syair, sejarah dan ekspektasi Arabia. Kini, semua mata tertuju ke arah lelaki tua itu ketika ia memulai kisahnya.
“Wahai para tamu al-Mustathraf, kafe yang tersembunyi di lorong Kairo. Aku pernah bertemu seorang penyair Badui dari suku Syalubi yang mengatakan bahwa Almaut adalah seorang wanita jelita yang selalu menyamar sebagai laki-laki setiap kali mengunjungi pasar malam saat bazar-bazar dibuka dari satu kota ke kota berikutnya. Badui itu memberi informasi lebih lanjut, bahwa Almaut selalu menari di bazar-bazar itu dan mencari pasangan di antara para penonton. Dan kini, sepasang mataku yang buta ini menyaksikan Almaut tengah berjalan ke utara, menembus Sinai. Almaut sedang menuju Baghdad. Kenapa ke Baghdad? Badui itu menjelaskan, karena di sana akan berlangsung sebuah pesta yang diselenggarakan seorang saudagar lanjut usia yang tak punya istri dan anak, dan kini sedang bingung mencari ahli waris dari harta-hartanya.” 


Seluruh orang di kafe menyimak kisahnya dengan tenang. Setelah meneguk kopi, lelaki tua itu kemudian meneruskan dongengnya. “Saudagar dari Baghdad itu memiliki kekayaan berlimpah; terdiri dari emas dan perak, unta dan kuda, domba dan burung elang, air dan udara, serta minyak wangi dan minyak tanah. Ia disebut sebagai seorang dermawan semata karena kebiasaan hidupnya yang boros. Pesta yang akan diselenggarakannya adalah bukti tabiat anehnya itu. Ia mendengar keahlian Almaut menari dan kini ia mengundangnya untuk menggembirakan para tamunya, kolega-kolega bisnisnya, ribuan pekerja yang melipat-gandakan omzet perusahaannya, juga para pesaing dagangnya. Tamu-tamu itu berasal dari lima benua, dan datang ke Baghdad untuk menyaksikan bagaimana Almaut menari.”
Sang juru cerita itu istirahat sejenak untuk menghirup kopi kembalii, menghisap kuat-kuat hashisnya sehingga asapnya yang harum memenuhi ruangan. Para pendengar dengan sabar menunggu cerita selanjutnya, sebelum tiba-tiba seseorang menyela:
“Wahai Paman Abu Lughod!” Seru seorang pemuda tampan bergamis lurik-lurik (seruannya itu sekaligus memberi tahu kepada kita nama lelaki tua juru cerita itu). “Aku memiliki isyarat yang lain dari isyaratmu tentang perjalanan Almaut. Aku punya kenalan seorang suku Dzubaby. Ia mengatakan bahwa Almaut tidak akan ke Baghdad dalam waktu dekat ini, melainkan ke Kairo terlebih dahulu. Aku mempercayai isyarat orang Dzubaby itu, karena aku mendapati seorang wanita jelita menyamar sebagai laki-laki berada di antara kita malam ini!”
Semua orang yang ada di kafe itu saling pandang satu sama lain, kebingungan.
“Itu dia orangnya!” kata pemuda itu sambil menunjuk ke arah seorang berkumis dan bercelana panjang yang berdiri di bibir pintu kafetaria. Seisi kafe tertawa begitu menyaksikan tampang maskulin orang itu.
“Ayo, penyamar cantik, kemarilah sebelum kuambil tanganmu dan kusingkap rahasiamu. Katakanlah bahwa kau seorang wanita, sebelum kumismu tanggal dan pakaian tebalmu tak lagi mampu menyembunyikan sepasang puting lembut di dadamu yang indah!”
Mendengar omongan si pemuda tampan, orang berkumis itu tetap tenang. Dan merasa seruannya tak digubris, pemuda tampan itu mengambil gerakan untuk menangkap pundaknya, tapi orang berkumis itu berhasil mencegahnya dengan memberi isyarat melalui tangannya. Si pemuda tampan tak berdaya. Semua orang di kafe itu menurutinya sambil menunggu apa yang akan dilakukan orang berkumis itu selanjutnya. Blind memperhatikan adegan itu dengan kecermatan seorang wartawan yang berpengalaman.
“Katakan apa syaratnya untuk mengenalmu, wahai tamu kami?” Abu Lughod mengajukan penawaran dengan suara khasnya. “Kami akan memenuhi permintaanmu sebagai hadiah terungkapnya rahasia yang kau bawa,” lanjutnya.
Orang berkumis itu kemudian menunjuk pemain rebana dengan telunjuknya. Maka segera permintaan itu dipenuhi. Sang penyair jalanan lantas memainkan rebana sambil menyanyikan syair:
 
Wahai Nabi yang tertanam di tanah Madinah
Terimalah salam kami orang-orang yang tersesat di tengah rahasia
Wahai Nabi yang mengetahui perbedaan Hidup dan Mati
Buatlah kopi kami sepahit Maut dan sehangat Cinta
Wahai Nabi yang terjaga dalam kematiannya
Beri kami petunjuk bagaimana mengenali Almaut
sebelum nafas kami yang terakhir
Kami bangsa Arab berdendang menyambut malam segelap alam baka
Agar bintang-bintang tetap menyala
Pada bola mata kami yang diliputi Cinta dan Teka-teki
 
Seisi kafe berdendang dan bernyanyi. Tepuk-sorai dan gelak-tawa membentuk irama meninggi dan kemudian pecah di puncak udara tatkala rebana ditabuh manja bagai bocah kecil di pangkuan ibunya. Asap hashis, aroma ganja, pujian Tuhan, mistik syair, hitam kopi dan ungkapan salam kepada Nabi, lebur menyatu. Abu Lughod meningkahinya dengan ketukan kakinya seraya kepalanya berputar-putar dan matanya yang buta kian tenggelam dalam kebutaannya. Dan saat sang penyair jalanan melepas rebananya, semua kembali membisu. Namun orang yang dituduh sebagai samaran Almaut rupanya telah lenyap dari kafe, kemungkinan melarikan diri di tengah pesta.
“Kita harus menangkapnya sebelum fajar menyingsing di Kairo!”
Lima orang menyertai pemuda itu untuk mencari penyamar yang kabur. Mereka menggeledah setiap kafe di lorong itu, menanyai laki-laki dan perempuan yang ditemui di lorong-lorong, menelusuri gang-gang yang menyela di antara rumah-rumah. Tapi sia-sia. Sementara Abu Lughod menunggu mereka dengan perasaan gelisah, dan menutupinya dengan menghisap hashis, meneguk kopi dan berputar-putar keluar masuk kafe. Matanya yang buta bergerak-gerak seakan sedang mencari isyarat atau petunjuk. Sang penyair menabuh rebananya kembali untuk melantunkan syair melankolia persembahan kaum sahara. Gelisah dan gundah, rasa was-was dan bingung diaduk di tengah malam yang pekat, malam laknat di Kairo, di mana Sang Takdir melingkar-lingkar sepanjang gang dan lorong untuk menjerat siapa saja yang Ia kehendaki.
Ketika bulan hampir habis ditelan cadar malam, lima orang yang mencari penyamar yang kabur datang menghadap Abu Lughod. Apa yang dikabarkan mereka adalah, bahwa pemuda tampan itu tewas dibunuh saudara tirinya ketika ia hendak masuk ke rumahnya.
“Tujuh tusukan belati melubangi perutnya, Paman Loghod!” lapor orang itu.
Abu Lughod hanya bergumam, “Kalau begitu benar isyarat orang Dzubaby itu, penyamar berkumis itu memang Almaut…”
Kematian pemuda itu bermula dari permusuhan tersembunyi dengan saudara tirinya seputar pembagian warisan. Itulah kenapa Almaut ke Kairo terlebih dahulu sebelum ke Baghdad: untuk memutuskan hukum waris melalui cara yang paling murah dan singkat, yaitu dengan mencabut nyawa salah-satu dari keduanya. “Namun, alasan yang lebih masuk akal kenapa pemuda itu mati menjijikkan, adalah karena ia tidak menghormati seorang musafir, tamu kita yang dahaga, bernama Almaut,” ujar Abu Lughod.
“Lalu di mana kira-kira sekarang Almaut berada, wahai Paman Abu Lughod?” tanya seorang tua.
Abu Lughod mengerjap-ngerjapkan matanya sambil mulutnya komat-kamit. “Ia tidak langsung menuju ke Baghdad karena badai gurun sedang berlangsung. Kemungkinan besar ia singgah terlebih dulu di rumah seorang syaikh di Basra dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Baghdad pada keesokan harinya melalui kampung-kampung kaum Syi’ah di jalur Timur.”
“Lalu kapan pesta saudagar di Baghdad berlangsung?” tanya Richard Blind.
Abu Lughod berpikir sejenak, dan kemudian menjawab, “Sesungguhnya ia merencanakan pesta itu berlangsung malam ini. Tapi kemudian menundanya karena salju-salju pegunungan Mediterania sedang mencair sehingga membuat sungai Eufrat dan Tigris banjir. Polder-polder di Baghdad belum canggih, belum bisa mengendalikan banjir secara efektif.”
“Siapakah nama syaikh di Basra dan saudagar Baghdad itu, Paman Abu?” tanya Blind lagi.
“Sayikh itu adalah seorang sufi dan penyair pemabuk yang konon melalui puisinya sanggup mengubah bejana tanah menjadi kendi emas. Namanya Zaim Ibn Naufal. Almaut bertamu kepadanya untuk menyampaikan salam rindu Tuhan telah lama menunggunya di akhirat. Adapun saudagar dari Baghdad itu bernama Al-Mulk Al-Abshar Ibn Duud wal Turaab. Namun orang Irak lebih suka memanggilnya Abu Dinar mengingat hartanya yang berlimpah sehingga sering pula diejek sebagai Baitul Maal alias Bank Sentral. Aku yakin, pesta yang akan diselenggarakannya nanti pastilah sangat meriah. Lebih meriah dari serapah pujian kabilah yang pulang perang membawa kemenangan.”
“Oh, kalau memang nama panggilannya Abu Dinar, aku mendapat undangan darinya untuk pesta itu, serta untuk suatu urusan bisnis seputar proyeknya membangun villa di Sisilia yang sampai saat ini belum mendapat persetujuan dari pemerintah Italia.” kata Blind. “Apakah sebaiknya aku memenuhi undangan Abu Dinar, wahai Paman?”
Abu Lughod berpikir sejenak untuk memberi pertimbangan yang tepat. “Jika kau memenuhi undangan itu, kau akan diajak menari oleh Almaut, dan kau akan tewas. Jika kau tetap tinggal di Kairo, maka akan ada lagi seorang penyamar di kafe ini yang menyebabkan kematian salah satu di antara kami. Jika kau kembali ke Inggris, kau tidak bisa melakukan wawancara dengan Almaut untuk keperluan penulisan ensiklopedimu. Ini adalah pilihan yang sulit, Blind. Tapi jangan takut. Sebaiknya kau tetap ke Baghdad dengan melewati jalur Barat. Meski pun bermedan berat, namun memberi keuntungan buatmu: pertama, kau tetap bertemu Abu Dinar; kedua, kau bisa bertemu Almaut dan jika ia mengancammu, kau bisa menyelamatkan diri melalui jalur Barat yang ganas itu.”
Blind memikirkan pertimbangan yang ditawarkan Abu Lughod sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil secara sempurna strategi yang ditawarkannya. “Sebagai jurnalis saya telah terbiasa dengan kondisi medan yang buruk. Ini tantangan wajar untuk ukuran orang Inggris. Aku mengambil pertimbanganmu, Paman Lughod.”
“Kami di sini hanya bisa berpesan supaya engkau membawa bekal perlengkapan yang cukup. Bacalah syair favoritmu untuk melupakan kesedihan di tengah jalan, dan kenanglah kami manakala engkau merasa hidup sendirian. Aku berdoa untukmu semoga kau menjalaninya dengan baik dan ikhlas. Kafe Al-Mustathraf ini menjadi saksi persaudaran kita, wahai tamu kami dari Eropa!” seru Abu Lughod.
Menuju Baghdad melewati jalur Barat berarti melewati terusan Suez, kemudian menuju Sinai di dekat perbatasan Mesir-Israel. Dari Yerussalem sebenarnya terdapat jalur kereta api trans Yordania yang memungkinkan Blind ke Baghdad dari arah Utara secara lebih singkat, dan relatif aman dari bayang-bayang Almaut. Namun Blind memutuskan melewati jalur unta untuk mengetahui lika-liku perjalanan yang sarat teka-teki dan keganjilan. Ditemani seorang Badui suku Syammar yang dikenal ahli navigasi di tengah gurun maha luas, Blind berangkat mengendarai dua ekor unta pilihan yang bertubuh besar dan berkulit cokelat oker. Najib, Badui Syammar itu, melempar pelana ke punggung unta. Segera saja unta itu merunduk; dan bilamana sang kafilah naik ke punuknya, dua unta itu segera bangkit, semula kaki belangkangnya yang terangkat, kemudian diikuti sepasang kaki depannya, seraya mengeluarkan desisan lembut dan bau harum rumput menusuk.
Dua unta terangguk-angguk seakan melayang di atas hamparan pasir. Langit senja bagai payung raksasa denagn gaun birunya. Cahaya lunak gemintang berhamburan bagai cincin melayang-layang di angkasa kosong. Selebihnya sunyi mengeras bagai neraka di hamparan gurun tak bertuan. Di kejauhan tampak sebuah kampung dikelilingi pohon-pohon olif dan kurma, daun-daunnya menyala disiram matahari senja. Jendela-jendela rumahnya memancarkan putik lampu melankolia, seakan terdapat seorang perawan tengah memandang ke arah kejauhan untuk menunggu kekasihnya yang berpetualang ke kampung seberang.
“Ghayah al-Manam, nama kampung itu, adalah tempat peristirahatan para musafir dari berbagai penjuru.” ujar Najib.
Blind dan Najib beristirahat di kampung itu untuk beristirahat dan membersihkan diri di sumur-sumur. Tampak seorang gembala tengah memberi minum domba-dombanya dengan khusyuk, mengingatkan Blind pada kisah dalam Perjanjian Lama saat bayi Ibrahim dimandikan di sumur-sumur kabilah Ur. Beberapa perempuan mengenakan gaun terusan berayun sambil menyunggi kendi-kendi air, kemudian lenyap di tikungan. Di tempat lain beberapa musafir tengah mendirikan tenda dari bulu unta yang telah disamak. Dan tanpa disangka-sangka, dari salah-satu pintu tenda keluar seorang perempuan seraya meratap-ratap bagai kesetanan.
“Wahai musafir! Siapa mampu mengembalikan nyawa Ibn Naufal penyair kami yang mati ditipu Almaut?! Ibn Naufal! Ibn Naufal!!”
Blind ternganga, mengingatkannya pada petunjuk Abu Lughod bahwa Almaut akan ke rumah Ibn Naufal dahulu sebelum menuju Baghdad. Lalu perempuan malang itu dihibur oleh perempuan yang lain, “Lihatlah aku, tataplah mataku. Kita yang hidup hanya percaya kepada Allah. Hanya dialah yang Kekal! Selain Dia semuanya akan punah menemu ajal. Juga kau dan aku!”
Lalu menarilah perempuan penghibur itu diiringi tepuk-sorai yang lain. Para musafir yang berkumpul di sekitar sumur segera mengambil posisi melingkar, menyaksikan sang penari. Ia mengangkat kaki dan tangannya, lalu mengambil gerakan memutar yang erotis. Mulutnya merekah serta matanya tengadah ke langit. “Ia pasti keturunan Lebanon,” bisik Najib pada Blind.
“Aku penari dari Utara, dari kota-kota yang telah terlupakan. Aku tak memiliki kisah apapun selain tubuhku yang diliputi kiasan ini,” katanya seraya menggemerincingkan gelang-gelang perak di tangan serta kakinya. Dan semuanya pun berderai.
Tubuh penari itu berputar-putar membentuk berbagai pola. Saat sang penari mengambil gerakan lebih pelan untuk memamerkan bibir kesumbanya yang menyala di balik cadar transparannya, tiba-tiba seorang lelaki, mungkin karena birahi menyaksikan sang penari, berlari untuk menangkapnya. Kesetanan lelaki itu. Dan dari titik lain tiba-tiba seorang lelaki lain lagi mencegahnya dengan menghunuskan pedang ke arahnya. Megelepar-gelepar lelaki birahi itu.
“Pedang Damaskus ini memiliki kualitas untuk menebus naluri-naluri jahanam di gurun pasir,” ujar lelaki pembunuh itu seraya memandang korbannya yang sedang kejang-kejang di tanah. Tewas.
Lengang dan mencekam. Semua yang ada di sana saling pandang satu-sama lain, kebingungan. Si pembunuh mendadak meratap-ratap kesurupan, sambil tangannya mencakari tanah. Ia merasa bersalah. Pada saat yang sama, sosok sang penari telah terlupakan; sebelum perempuan yang bersedih menyeru-nyeru, “Dia penari itu, dialah Almaut! Dia pergi melarikan diri. Dialah pembunuhnya! Bukan suamiku yang membunuh lelaki birahi itu!”
Dari tempat lain, seorang lelaki berwajah Kurdi menimpali, “Ikhlaskanlah dia mati. Dia memang harus mati. Malam ini seharusnya dia berada di Najaf, namun mendadak pergi ke sini, karena rupanya di sinilah ia mempunyai perjanjian rahasia dengan Sang Takdir ”
Orang-orang kembali menuju tenda masing-masing. Senyap.
“Pernahkah engkau mendengar hikayat Almaut, Najib?” tanya Blind. Dengan tubuh menggigil Najib menjawab, “Almaut, Almaut. Bagi kami orang Badui, Almaut adalah mata parang yang menyala di balik sarungnya. Mata yang selalu mengawasi kata-kata kami, yang akan menebas leher tuannya manakala kata-kata itu menipu diri. Itulah kenapa tak ada orang yang membual di gurun hitam ini, adalah agar mata parang tetap diam karena kita mengatakan kebenaran.” Suara Najib nyaring di tengah hening. Angin samum berhembus seakan sedang mendorong bulan ke puncak langit. Badai gurun sedang berlangsung, menderu-deru di kejauhan. Blind masih tak habis pikir dengan omongan Najib si Badui ini. Betapa Almaut hadir melalui setiap kata yang beredar sebagai hikayat dari mulut ke mulut? Hanya di jazirah ini Almaut hadir dalam bentuk jamak, dari seorang perempuan, seorang penari, seorang lelaki berkumis, hingga mata parang yang kantuk di balik sarungnya…
Pada keesokan harinya Blind dan Najib berjalan lagi. Dua manusia di atas dua ekor unta, fajar menjemput di ujung Timur, matahari menyala di depan mata. Segalanya tampak berkilau. Sejauh mata memandang hanya bukit pasir di balik bukit pasir menghampar keemasan. Hening yang hanya dipecahkan oleh suara kecipak kaki unta mengusik pasir serta bunyi pasak pelana. Unta berayun gemulai menimbulkan kantuk sang musafir. Najib bernyanyi-nyanyi dalam irama datar, nyanyian penunggang unta untuk mengusir kantuk di tengah gurun lapar yang teramat luasnya hingga menyerupai labirin yang menyesatkan musafir yang tak waspada: tak ada Timur dan Barat, Selatan dan Utara. Mata-angin hanya berupa ketajaman intuisi musafir dalam menangkap isyarat melalui pasir-pasir bisu yang selalu memohon untuk senantiasa ditafsir dan dibaca. 

Najib dan Blind terangguk-angguk di atas pelana, unta berayun-ayun menuju Baghdad menapaki rumput-rumput liar yang tumbuh membentuk stepa di tengah gurun. Seekor srigala berlari di kejauhan, entah bangkai apa yang sedang dicari, atau bisa jadi srigala itu Almaut yang menyamar melalui taring-taringnya yang runcing. Najib bernyanyi-nyanyi menghibur diri, Blind bertepuk-tepuk, unta berayun gemulai sepanjang siang, malam, sepanjang hari, berhari-hari, berminggu-minggu...
Satu purnama kemudian, di Baghdad berlangsung sebuah pesta di istana Abu Dinar. Para tamu dari penjuru dunia berdatangan dan Abu Dinar menyambut dengan suka cita. Kopi Turki, kue Basbusa, arak Yaman, melayang di atas talam-talam yang dibawa para pelayan jelita yang diimpor dari Beirut. Pesta begemuruh. Dan Almaut pun menari di mimbar sambil sesekali turun menghampiri para tamu undangan. “Wahai musafir berhati sunyi, tataplah linang air mataku untuk mengobati kesepianmu,” kata Almaut seraya diiringi musik berdecak-decak. Irama perkusi, petikan dawai membius bersama desis tamborin. Semua bergembira dalam pesta. Abu Dinar menjelma bintang raksasa yang dibanjiri pujian di suatu malam riang di Baghdad.
Blind datang lebih akhir, namun masih mendapat sisa beberapa kuplet lagu dan dendang. Abu Dinar segera mengajak Blind menuju ruang tengah untuk membicarakan persoaan penting menyangkut permbangunan villanya di Italia. Namun mendadak Almaut menghamipri mereka di tenagh pembicaraan. Dengan penuh takjub Blind menatap sosok misterius itu: gaunnya bak seorang puteri, rambutnya lembut dan hitam bagai malam, mukanya bercadar warna jingga, sepasang matanya yang indah kebiruan menatap tajam ke arah Blind. Saat tangan Almaut hendak meraih dagunya, Blind segera menghindar dan berusaha lari lewat pintu belakang. Almaut mengejarnya. Blind terus berlari menuju gurun –ia ingat, sebagaima saran Abu Lughod! Begitu kencang Blind lari, Almaut menyerah tak sanggup mengejarnya lagi dan memilih kembali ke istana Abu Dinar.
Dengan raut muka masam, Abu Dinar bertanya, “Kenapa kau ganggu tamu istimewaku, wahai Almaut yang bijaksana?”
Dengan tenang Almaut menjawab, “Dia sudah berjanji untuk bertemu denganku di gurun sebelah barat-daya Baghdad malam ini juga, tapi entah kenapa dia tiba-tiba berada di istanamu,” jawab Almaut.
Abu Dinar geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah Almaut.
Esok malamnya, di Kairo, Abu Lughod memanggil para pendengar setia hikayat-hikayatnya di kafe Al-Mustathraf untuk melanjutkan kisahnya. “Wahai orang-orang yang berjaga malam di Kairo. Perhatikan mulutku baik-baik. Baghdad telah menjadi kuburan massal di mana seluruh pengunjung pesta Abu Dinar jatuh ke dalam pelukan Almaut. Abu Dinar sendiri selamat karena Almaut tak mungkin bisa menari tanpa biaya yang dikeluarkan oleh Abu Dinar. Adapun Sahabat kita Blind sebenarnya punya kemungkinan masih hidup, meski pun kecil. Kita belum mengetahui nasibnya hingga saat ini.” Penjelasan Abu Lughod ini belum final dan masih menyimpan misteri...
Apa yang sesungguhnya terjadi? Sejarah berlangsung selembut larutan pasir di dasar sungai. Kisah yang sesungguhnya adalah bahwa orang yang menyuruh Blind melewati jalur Barat bukanlah Abu Lughod, melainkan Almaut yang menyamar sebagai Abu Lughod. Sedang Abu Lughod sendiri malam itu pamit pulang sebentar ketika menunggu lima pemuda yang mencari penyamar yang menghilang di tengah dendang syair, namun Abu Lughod tidak kembali lagi ke kafe melainkan terlelap di rumah. Lalu Almaut menyamar sebagai Abu Lughod dan memberi pertimbangan menyesatkan kepada Richard Blind sehingga jurnalis Inggeris itu menemui ajalnya dilibas badai gurun musim panas yang menggila di tenggara kota Baghdad. Sedang badai itu sendiri merupakan penyamaran Almaut yang lain lagi...
“Dengan jalan itu, wahai para pendengar, penyamaran-penyamaran Almaut tidak bocor ke dalam ensiklopedi yang hendak ditulis Richard Blind, sekaligus tetap menjaga tabiat Almaut sebagai teka-teki. Itulah alasan utama kenapa tamu Inggris kita itu mati mengenaskan dengan tak seorang pun mengetahui di mana mayatnya berada. Kita di Kairo hanya bisa menemukan namanya di sudut terpencil ingatan kita.”
Abu Lughod mengakhiri kisahnya dengan senyum dingin di bibirnya, dan para pendengarnya di kafe Al-Mustathraf menyambut senyum itu seraya menarik nafas dalam-dalam.
 
 
BlockNot Literary Journal, 2003

Tidak ada komentar:

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer