Buku Jonathan Culler ini adalah salah satu buku dari seri ‘a very short introduction’ dari penerbit Universitas Oxford. Sesuai dengan tajuknya, setiap buku dari seri ini dimaksudkan untuk menjelaskan setiap tema yang diangkat dengan singkat namun tetap memberikan penjelasan yang memadai bahkan untuk konsumsi orang dari luar disiplin tema yang diangkat (seperti jargon seri ‘a very short introduction’: bahwa seri ditujukan bagi “siapa saja yang menginginkan sebuah cara yang mendukung dan terjangkau pada obyek baru”). Profesor Culler mendapat jatah mengupas tentang teori sastrawi (seperti salah satu mata kuliah yang ia ampu di Universitas Cornell, Amerika).
Layaknya kebanyakan buku pengantar sastra(wi), penulis melakukan tarikan ke belakang (ontologis) ke dasar ide tentang teori sastrawi, dan Culler juga melakukannya. Yang luar biasa, ia memutuskan untuk memulai dari sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, dan cenderung dilupakan, seperti: “Apa itu teori?”
Tanpa embel-embel apapun di belakang kata ‘teori’, Culler mencoba mencari definisi tentang teori. Untuk mendapatkan definisi tersebut, ia menggunakan dua teori milik dua filsuf berkewarganegaraan sama, Foucault dan Derrida. Culler memilih kedua filsuf tersebut karena dua teori mereka sangat sering dibicarakan di ranah akademis sastra. Padahal, menurut Culler, keduanya bukanlah teoretikus sastra; Foucault fokus pada sejarah pokok-hal yang dikesampingkan, seperti seksualitas, dan Derrida lebih pada bahasa. Lantas kenapa teori mereka sampai bercokol begitu mantapnya di ranah sastra? Dari sinilah buku ini dimulai oleh Culler.
Setelah memberi pengantar tentang ‘teori’ (tanpa 'sastra(wi)' sebagai kata penjelas), Culler langsung masuk ke ranah sastra dan lagi-lagi memberi tajuk babnya dengan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, “Apa itu sastra dan apa pentingnya?” Culler, pada bab tersebut, mengetengahkan dua nosi tentang sastra: apa ia sebuah bahasa yang disusun sedemikian rupa? Ataukah, ia hanya sekumpulan tulisan yang diberi label ‘sastra’ melalui pendapat umum? Culler mengiyakan keduanya, namun tetap memberi jalur berpikir yang cukup jelas untuk berlanjutnya ide di buku ini dengan menarik kesimpulan tentang ciri-ciri (karya) sastra.
Yang pertama, sastra adalah sebuah ‘pe-latardepan-an’ (foregrounding) bahasa. Penjelasan singkatnya, sastra adalah bahasa yang ditata secara khusus (misalnya dengan peralatan musikalnya seperti rima), namun pada akhirnya, seberapapun aneh penataannya, ia hanya akan kembali mengarah pada dirinya sendiri (bahasa). Kedua, sastra sebagai integrasi bahasa. Penggabungan elemen-elemen bahasa untuk mencapai makna adalah ciri integrasi ini. Ketiga adalah sastra sebagai fiksi. Keempat adalah sastra sebagai obyek estetika: selalu ada keindahan di karya sastra. Yang terakhir, kelima, adalah sastra sebagai bangunan-yang-menceritakan-dirinya-sendiri. Bangunan ini adalah sekumpulan karya sastra yang memiliki hubungan intertekstual dan setiap karya sastra mencerminkan bangunan ini (itulah kenapa bangunan ini menceritakan dirinya sendiri).
Setelah memberikan kesimpulannya tentang sastra, Culler pun melangkah ke teori sastrawi pada awalnya. Culler mendedikasikan dua bab, bab 5 dan bab 6, untuk membicarakan dua teori sastrawi yang menjadi dasar, atau sebelum, berkembangnya semua teori sastrawi (ideologi) yang dikenal saat ini. Culler, pada bab 5 dan 6, membagi dua jenis teori sastrawi yang pada awalnya digunakan untuk meneliti (mengidentifikasi) sastra. Untuk puisi, ia mengajukan teori puitika, yang merupakan turunan dari retorika, dan untuk prosa, ia mengajukan teori narasi. Di sana, ia mengupas elemen-elemen dalaman yang terdapat pada karya sastra, semisal metafora atau metonimi di puisi, dan alur serta cerita, pada prosa. Kemudian, pada dua bab terakhir, Culler membatasi pembicaraan pada aspek bahasawi pada sastra, termasuk mengajukan ide sastra sebagai performative language (setelah pemaknaan-ulang antara performative language dan constantive language). Secara singkat, sastra adalah penggunaan bahasa yang menyatakan sebuah ide menggunakan metode representasi (sekilas menggambarkan seperti apa adanya, terutama di prosa).
Pada bab terakhir, Culler masuk lebih dalam ke ranah bahasa (khususnya politik penggunaannya) dengan usaha pembacaan kritis atas karya sastra yang mencoba melakukan semacam identifikasi identitas. Teori-teori sastrawi macam feminisme, psikoanalisa, poskolonialisme mulai diperkenalkan mengingat perihal identitas merupakan isu utama yang dibawa dalam ideologi-ideologi tersebut.
Ulasan Kritis:
Terdapat buku dengan konsep hampir serupa dengan Literary Theory: A Very Short Introduction. Beberapa memang ingin secara luas merangkum seluruh teori sastrawi yang berkembang hingga saat ini dan sebagian lain hanya mengkhususkan diri pada beberapa teori sastrawi saja, terutama yang memiliki akar pemikiran yang sama. Beginning Theory karya Peter Barry dan A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory suntingan Peter Widdowson adalah contoh buku-buku yang mencoba merangkul semua teori sastrawi. Di sisi lain, buku seperti Introduction to Poststructuralism and Postmodernism tulisan Madan Sarup atau karya Culler lainnya, On Deconstruction, adalah mereka yang membatasi diri hanya membicarakan teori sastrawi tertentu.Contoh-contoh ini saya ambil secara acak saja namun saya kira gaya penulisannya mampu mewakili buku sejenis lainnya. Apa keunikan buku pengenalan milik Culler ini (selain judul serinya yang menggoda dengan kata penegas ‘very’)? Yang pertama, dan langsung kentara, adalah gaya bahasa Culler yang sangat santai. Apalagi ditambah dengan ilustrasi yang paling tidak mampu mengendurkan saraf otak yang mulai panas. Akan tetapi, tidak hanya pengemasan yang ciamik saja yang membuat buku ini lebih ‘benderang’. Kemampuan, dan keberanian, Culler kembali ke hal yang paling mendasar dari teori-teori yang dekat dengan sastra membuat buku ini pantas diberi cap ‘mencerahkan’. Ia mempertanyakan kembali mana teori-teori yang benar-benar datang dari sastra dan mana yang datang dari luar ranah sastra. Secara halus, ia mengajak pembaca menyadari bahwa teori seksualitas Foucault dan teori tanda Derrida bukanlah teori yang secara inheren datang dari sastra. Mereka hanya teori yang dapat dimanfaatkan untuk meneliti karya sastra. Karenanya, teori-teori tersebut disebut literary theory (teori sastrawi) dan bukan theory of literature (teori sastra).
Dengan tawaran kerangka berpikir yang ditawarkan Culler di awal bukunya ini, para pembaca yang diasumsikan sebagai orang dari luar disiplin sastra akan memiliki tanggapan yang berbeda daripada ketika langsung disodori segepok teori-teori bernama aneh dalam bentuk daftar. Penyodoran daftar teori-teori inilah yang terjadi di buku-buku pengenalan lain yang saya sebutkan di atas tadi. Bagi saya, ini sangat krusial bagi pengenalan studi sastra karena, dengan pengenalan ala Culler ini, orang akan cenderung belajar unsur-unsur dalaman sastra terlebih dahulu sebelum melakukan usaha kritis atas karya sastra dan menghindari kesalahan meng-anaktiri-kan karya sastra sebagai obyek penelitian. Dalam artian, teori-teori dipaksakan masuk dalam karya sastra dengan pembenaran-pembenaran yang datanya dipaksakan. Sehingga, kerangka berpikir bahwa studi sastra dimulai dengan memilih ideologi (teori sastrawi) terlebih dahulu dapat dijauhkan.
Di buku Beginning Theory, yang juga banyak digunakan di kampus-kampus di Indonesia, dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia beberapa waktu lalu, para pembaca akan terjebak pada kesalahan di atas. Peter Barry, si penulis, melalui penjelasan bab pertamanya (‘Before Theory’) memukul-rata bahwa studi sastra yang dilakukan sebelum munculnya teori-teori sastrawi ini, berbarengan dengan perkembangan Kajian-kajian Budaya sekitar tahun 1960an, dianggap tidak memiliki teori. Jadi, saat ini ketika orang ingin melakukan studi sastra, ia ‘diwajibkan’ memilih teori terlebih dahulu. Semua yang muncul di studi sastra sebelum 1960an ia kategorikan sebagai humanisme-liberal, yang bukan teori.
Hal semacam ini juga terjadi di buku Critical Tradition yang merupakan bunga rampai esai kritik sastra, mulai dari Republic-nya Plato hingga teori-teori yang menumpuk itu. Semua esai sebelum teori-teori ini dimasukkan begitu saja ke dalam golongan ‘klasik’. Padahal sudut pandang dan konsep yang dibawa jelas berbeda-beda. Masa Yunani Kuno, Abad Pertengahan dan Romantik tentu membawa ide yang bermacam-macam (estetika-nya). Pada dasarnya, pengenalan semacam Beginning Theory juga sah dalam studi sastra, akan tetapi ia menjadi semacam pemutus jalinan ide yang panjang dalam studi sastra dan memulai sesuatu yang baru dengan tidak melihat sisi lain dari studi sastra dari masa yang telah lalu dengan pemukulrataannya.
Permasalahan terlupakannya pemikiran dari zaman Romantik dan sebelumnya ini sebenarnya telah disadari salah seorang penyair-cum-kritikus zaman itu, Shelley, di esainya “Defense of Poetry”, yang juga maktub di Critical Tradition. Walaupun Shelley tidak menggunakan istilah ‘terlupakan’ namun fenomena yang dikritisi olehnya mirip dengan kesalahan-kesalahan yang dipicu oleh buku macam Beginning Theory karena karya sastra, pada zaman Shelley, telah menjadi semacam pembawa pesan dari sebuah bangunan ide yang lebih besar: filsafat. Karya sastra dianggap hanya pembawa pesan dari sebuah pemikiran filosofis semata. Shelley menentang pandangan itu dengan mengajukan ide bahwa sastra sendiri adalah sebuah bangunan ide yang tak kalah ‘dalam’ atau ‘orisinil’ dibanding filsafat. Shelley mengakui bahwa estetika adalah senjata yang dimiliki sastra dan estetika adalah sebuah letupan dari pencerapan melalui sensibilitas para pengarang atas hal-hal yang ada di sekitarnya; maka ia tidak kalah kritis dengan rasionalitas para pemikir.
Sampai di sini, buku Culler ini sebenarnya ada dalam barisan yang sama dengan buku semacam Beginning Theory walaupun dalam tingkatan yang berbeda karena, paling tidak, Culler memberi jalan atas ide-ide terdahulu (sebelum teori-teori) atas karya sastra (retorika, puitika, hermeneutika, narasi). Kesamaan dengan Peter Barry, mulai tampak pada dua bab terakhir karena ia mulai mengarahkan studi sastra pada sebuah usaha kritis yang bersifat bahasawi saja. Ia menganggap sastra hanya sebagai fenomena bahasa dengan teori ‘performative language’ dan ‘constantive language’-nya. Tarikan lebih jauh Culler hanya berpusat pada bahasa yang digunakannya untuk mengidentifikasi identitas-identitas dalam karya sastra. Di sini, ia lebih mengacu pada hermeneutika daripada puitika (retorika) karena menganggap alat-alat puitika hanyalah alat untuk mengatakan sesuatu yang lain daripada sebagai sebuah tujuan seperti dalam puitika. Studi yang dianjurkannya menjadi lebih bersifat bahasawi daripada sastrawi. Karya sastra menjadi seperti obyek penelitian bahasa (dan bukan sastra). Ia melupakan salah satu dari lima kesimpulan yang ia tarik sendiri mengenai apa itu sastra: sastra adalah obyek estetika.
Secara keseluruhan, paling tidak hingga bab 6, Culler menyuguhkan pengenalan teori sastrawi yang menyeluruh dan sangat ramah dengan pembaca yang sekalipun awam. Pendekatannya yang kemudian sangat bahasawi pun sebenarnya sangat membantu studi sastra karena, mau tidak mau, bahasa adalah wilayah tempat sastra bermain, selama estetika menjadi tujuan utama sebuah studi sastra. Begitu juga dengan pendekatan-pendekatan hermeneutik lainnya (kelas pada Marxis, atau neurosis pada psikoanalisa, dll.) juga lahan yang sangat menarik pada studi sastra, dengan catatan, pemikiran estetika yang sejak lama menjadi tolok-ukur sastra tidak begitu saja dinafikkan sumbangannya.
Sumber mediasastra.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar