Minggu, 09 Oktober 2011

Penyair dan Keruntuhan Sejarah

Faisal Kamandobat

Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah? Filsuf metafisika Martin Heidegger (1971) menyebut puisi sebagai media terbaik bagi manusia untuk mengada (becoming), karena puisi memiliki karakteristik yang mampu memberi kepenuhan makna dalam kesadaran manusia.

Pendapat filsuf metafisika tersebut mesti didukung oleh penjelasan sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara lebih konkret. Terdapat suatu masa dimana keberadaan masyarakat bergantung pada posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi status ontologis bagi masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase dimana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang bukan puisi, dan sosok penyair pun menjadi figur pinggiran yang meski pun dipuja namun belum cukup didengar oleh publik.



 Di tengah pasang surut “kuasa” para penyair itu, kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menguatkan, mengurangi dan bahkan meruntuhkan posisi para penyair. Selain itu, kita juga dapat mengetahui hal-hal yang bertahan dan berubah dalam diri penyair dari masa ke masa, sehingga kendati peruntungannya tidak selalu baik, beberapa orang berbakat masih terus menulis puisi, dan cita-cita filosofis Heidegger tetap menemukan relevansinya sebagai “teori” kesadaran, dengan puisi sebagai “rumah utama” bagi eksistensi manusia.

Penjaga kosmos
Untuk mengetahui masa “kejayaan” para penyair, bukti sejarah yang paling baik terdapat pada masa pramodern, yaitu ketika kapitalisme dan ilmu pengetahuan belum sungguh-sungguh melembaga dan otonomi individu belum menguat seiring belum kokohnya kepemilikan individu dalam sistem ekonomi masyarakat. Dalam masyarakat demikian, peran penyair dapat dikatakan penting dalam menjaga keseimbangan sosial, yang oleh orang Yunani Kuno disebut sebagai kosmos.

Pentingnya peran para penyair tersebut terkait dengan kenyataan bahwa puisi (dalam bentuknya yang paling umum, yaitu sebagai produk bahasa berdasarkan permainan irama) masih merupakan bentuk pengucapan yang paling mewakili karakter kosmis dan transenden dari mitos dan ideologi masyarakat pramodern. Usaha peng-kosmis-an dilakukan melalui permainan harmoni dalam irama puisi, dan usaha transendensi dicapai melalui repetisi yang mengantarkan pengucap dan pendengarnya menempuh tingkatan-tingkatan intensi hingga mendekati bentuk penghayatan yang paling menyerupai tatanan ideal alam semesta, sesuai mitos atau ideologi yang diacu.

Karena itu, tidak heran jika hampir semua kitab suci agama-agama ditulis dalam bentuk puisi, demikian pula dengan hampir semua teks yang dianggap suci dalam berbagai kelompok etnis. Dan tentu, kandungan dalam puisi-puisi tersebut mengacu pada peristiwa-peristiwa yang dianggap penting oleh kelompok penganutnya, seperti penciptaan, kelahiran, kutukan, kiamat, dan kebangkitan.

Tembang-tembang Jawa banyak yang mengacu pada para leluhur agung saat menkreasi jagad budayanya, syair-syair masyarakat Arab Badui banyak yang mengisahkan kemenangan dan kekalahan perang antar suku, sajak-sajak bernama bini yang dibawakan oleh para manaholo (penyair tradisional masyarakat Rote) berisi peristiwa-peristiwa penting yang dilakukan oleh para tetua adat di masa silam.    

Melalui puisinya, para penyair pramodern memposisikan dirinya sebagai sumbu yang “mengendalikan” sejarah masyarakatnya berdasarkan sumber mitis yang diacu, karena terhadap acuan mitis itulah kehidupan masyarakat sehari-hari diorientasikan sekaligus menemukan status historisnya. Tanpa mengacu pada acuan yang disepakati, sebuah peristiwa tidak dianggap sebagai bagian dari kosmos alias berada “di luar dunia”, dan karena itu menjadi ekstra-historis.

Sejarah, dengan demikian, sebagaimana disebut Mircea Eliade (1991) adalah takdir menjalani peristiwa pengulangan terus-menerus sesuai pusat acuan dengan hanya sedikit partisipasi individu dari generasi setelahnya. Hal itu terjadi sejauh individu tersebut bukan seorang penyair, raja, pendeta, penyihir, atau pemberontak yang memiliki daya ledak seorang Dionysius yang mampu mengacaukan kosmos. Agar tidak terlempar dari sejarah, kehidupan sehari-hari yang paling wajar sekali pun mesti dikaitkan dengan pusat acuan, entah dengan puisi atau materialitasnya yang paling manifes, yaitu ritual.

Hidup dalam sejarah demikian itu, yang terserap secara total ke dalam harmoni kosmis, tak ubahnya tinggal dalam padangan Plato tentang dunia ideal dimana dewa-dewa hidup bersama manusia di alam yang sama, dan surga di langit menjadi model yang “melembaga” dalam realitas sosial di bumi. Para penyair menjadi pewarta agung yang mengisi makna secara penuh ke seluruh realitas, sehingga sering dianggap suci alias setengah dewa, dan pada akhirnya ikut tenggelam dalam dunia yang mereka sendiri ciptakan.

Kuasa yang terbatas

Pada masa selanjutnya, posisi penyair sebagai penjaga kosmos perlahan terkikis oleh perubahan arah sejarah. Kosmos masyarakat pramodern tidak semata dibentuk oleh rima dan repetisi puisi para penyair, namun juga didukung oleh organisasi sosial, pembagian kerja, basis ekonomi, sistem kekerabatan dan tatanan religi. Faktor-faktor itulah yang membentuk struktur sosial yang  melampaui eksistensi individu. Ketika faktor-faktor pendukung tersebut pecah, posisi dan peran para peyair ikut berubah.

Perubahan tersebut terjadi hampir menyeluruh. Secara ekonomi, datangnya kapitalisme telah mencabut hak milik adat menjadi milik individu. Dampaknya adalah melemahnya institusi agama, kekerabatan dan  adat, diikuti nilai, ritual dan upacara yang mendukung ikatan kosmis. Ujungnya, karena institusi dan mekanisme pendukungnya telah lemah, pusat acuan mitis pun memudar pancaran sakralnya bagi masyarakat.

Situasi demikian telah mengubah secara paradigmatik penghayatan masyarakat terhadap sejarah. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai repetisi kolektif terhadap pusat acuan mitis yang ditegaskan melalui puisi dan ritual, melainkan interpretasi individu-individu terhadap pusat acuan tersebut, yang mereka lakukan demi menjustifikasi posisi dan kepentingan masing-masing—sesuai dengan tatanan ekonomi yang juga individualistik.

Dalam konteks tersebut, konsep waktu yang semula tunggal, kolektif dan siklis menurut irama kosmogoni dan eskatologis pusat acuan mitis berubah menjadi plural, individual dan progresif mengikui kehendak masing-masing individu yang saling berkompetisi. Akibatnya, waktu sejarah dipahami oleh tiap individu sebagai arus linear yang menjelajah ke depan dan menembus gugusan teritorial, paralel dengan terjadinya proses diferensiasi sosial, persebaran penduduk, dan terciptanya struktur sosial baru di pusat-pusat kapitalisme yang sedang tumbuh.

Di tengah situasi tersebut, para penyair pramodern pun goyah dalam singgasana kosmosnya. Sebagian dari mereka tetap tenggelam dalam kosmologi lamanya, sedang sebagian lain yang cukup sigap mencoba menumpang perahu penyelamat dengan ikut menkreasi sejarah modernitas. Nsmun dalam sejarah modernitas posisi dan peran mereka tidak sekuat dulu lagi. Kali ini mereka harus berbagi kekuasaan dengan para filsuf, ilmuwan, teknolog, politisi, arsitek, pedagang dan buruh—peran-peran yang pada masa pramodern sering ditempatkan sebagai “figuran” belaka.

Pembagian kekuasaan tersebut pada akhirnya ikut mengubah bentuk puisi. Pada masa pramodern, bentuk puisi yang diacu adalah koherensi rima, kata, baris dan paragraf  yang merefleksikan–hampir secara matematis—harmoni kosmis. Dalam puisi modern, aturan rima tadi justru dilanggar sebagai modus penghadiran individu penyair ke dalam bahasa, sekaligus merefleksikan kuasa penyair yang kian terbatas. Dengan kata lain, jika dalam masyarakat pramodern sosok penyair menjadi manifestasi dari kosmos dan kolektiva sosial, dalam masyarakat modern ia hanya sesosok individu yang berusaha sekuat tenaga menghadirkan dirinya ke tengah masyarakat, bukan lagi “penguasa” atasnya.

Mekanisme penegasan kuasa para penyair pun ikut berubah. Dalam masyarakat pramodern, puisi dibacakan dalam kegiatan ritual untuk menegaskan status sucinya, dimana sang penyair berbagi kekuasaan dengan para dewa-dewi. Sedang dalam masyarakat modern, penyair membacakan puisinya dalam festival yang menegaskan status sekuler dan profannya dan mereguk sepenuhnya kekuasaan yang terbatas atas namanya sendiri. Semakin kuat dan inovatif puisi-puisinya, semakin ia diterima oleh masyarakat; semakin prestisius festival yang diikuti, dan semakin tegas aura kuasanya sebagai “pewarta murung” modernitas.

Perlu mekanisme baru
           
 Mekanisme penegasan kuasa semacam itu bukan tanpa  konsekuensi. Secara estetis, kuatnya posisi individu memungkinkan pesatnya inovasi, yang secara sosiologis berarti memberi banyak pilihan orientasi terhadap masyarakat dalam menentukan gerak sejarah mereka. Namun karena inovasi tersebut hanya didukung oleh mekanisme kontestasi yang tidak memiliki ikatan kuat dengan institusi-institusi lainnya, baik ekonomi, politik, agama, adat dan keluarga, kuasa penyair dalam memberi orientasi terhadap sejarah menjadi lemah. Penyair modern (setidaknya di Indonesia) dianugerahi kebesaran nama, namun pengaruh sosial dan politiknya belum sekuat para Mpu di zaman Mataram Kuno, Majapahit atau Bali pra-kolonial.

Untuk meningkatkan “kuasa” para penyair dalam sejarah modern, panggung festival dan industri penerbitan saja tidak cukup. Kita membutuhkan mekanisme yang sanggup menghubungkan puisi dengan keluarga, adat, agama, perusahaan, negara dan pemerintahan yang telah luar biasa kompleks karena tingkat keragaman dan persebarannya di negeri ini.

Di samping itu, ideologi yang dibawa oleh para penyair modern juga sebaiknya dapat menyentuh dan mengolah kembali aspek meta-sejarah yang selama ini telah menjadi jembatan komunikasi dari bangsa yang beragam ini, dan tidak hanya melakukan kreasi berdasarkan bentuk estetis—kendati dalam kadar tertentu bentuk estetis juga ikut menentukan  pesan dalam puisi. Wilayah metasejarah tersebut dapat temukan dari ingatan-ingatan kolektif yang terpendam dalam sruktur mental bangsa ini, seperti mitos-mitos dan pristiwa-peristiwa yang dianggap penting, mulai zaman purba hingga hari ini. Dengan menghadirkan ulang aspek metasejarah secara kreatif, puisi-puisi yang diwartakan oleh para penyair dapat lebih komunikatif sekaligus mendorong bangsa ini untuk terus menjadi (becoming) hingga ke bentuk kesadaran ontologis (being) yang paling matang.

Jika mekanisme tersebut dapat dilakukan, para penyair modern setidaknya bisa ikut menunda “keruntuhan sejarah” bangsanya yang sedang mengalami proses atomisasi dari berbagai elemennya, atau bahkan menjadi dirijen sejarah modern bangsanya agar bergerak mengikuti permainan rima puisi-puisinya.

Kompas, 16 Juni 2011


Faisal Kamandobat adalah penyair, eseis dan peneliti kebudayaan; ia bergiat sebagai pembina Komunitas Matapena dan redaktur jurnal puisi Rumah Lebah Ruang Puisi. Bukunya yang telah terbit adalah Alangkah Tolol Patung Ini (2007). Sekarang sedang belajar antropologi di Universitas Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer