Kamis, 13 Oktober 2011

Bujukan dan Keteguhan: Tentang Perguruan Tinggi dan Pasar Kerja

PENDIDIKAN TINGGI DAN DUNIA KERJA


Ahmad Syafiq, foto oleh Yogi DS
Ahmad Syafiq, PhD
Alumni PP Almunawwir Krapyak Jogja; Kepala Bagian Riset Career Development Center (CDC) Universitas Indonesia Jakarta


Maraknya perhatian terhadap hubungan antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja salah satunya dipicu oleh integrasi komponen studi pelacakan alumni (tracer study) dalam akreditasi perguruan tinggi. Interpretasi terhadap hasil tracer study sebagai mata rantai antara dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja membutuhkan pemahaman yang komprehensif mengenai hubungan antara keduanya. Teichler (2007) menengarai tiga perspektif yang saat ini sedang populer di kalangan pemerhati hubungan pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Tulisan ini mencoba menyarikannya sebagai dasar bagi upaya penelitian di bidang ini dan perbandingan dengan situasi di Indonesia.

Perspektif pasar kerja

Fokus dari perspektif ini, yang terutama dianut oleh ekonom dan sosiolog, adalah kontribusi pendidikan tinggi terhadap keberhasilan ekonomi dan sosial individu dan kolektif baik dalam kerangka pertumbuhan ekonomi, remunerasi, maupun penghargaan non-moneter dan status sosial. Diyakini bahwa hubungan antara pendidikan tinggi dan dunia kerja secara dominan didasari oleh norma individu sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) atau pencari status. Asumsinya adalah bahwa dalam suatu sistem meritokratik, ada peningkatan penghargaan ekonomi dan sosial sesuai dengan peningkatan kompetensi seseorang. Dengan demikian pendidikan tinggi memberikan nilai tambah ekonomi dan sosial bagi seseorang karena peningkatan pemerolehan kompetensi.
Lebih lanjut, perspektif pasar kerja mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan permintaan (demand) dan ketersediaan (provision) tenaga kerja terdidik (baca: lulusan lembaga pendidikan tinggi). Bagaimana permintaan terhadap tenaga kerja terdidik? Apakah tersedia cukup tenaga kerja terdidik sesuai dengan kebutuhan pasar kerja? Sejauh mana penghargaan ekonomi dan sosial relevan bagi tenaga kerja lulusan lembaga pendidikan tinggi?

Beberapa tahun terakhir ini, pertanyaan-pertanyaan di atas berkembang dan muncul isu-isu baru yang harus dicari jawabnya. Diskusi mengenai permintaan dan penawaran bergeser ke arah keseimbangan yang sifatnya dinamis, tidak statis. Ketidaksesuaian (mismatch) antara jumlah, jenis, dan kualitas lulusan pendidikan tinggi dan dunia kerja selalu dan pasti terjadi. Persoalannya adalah bagaimana masing-masing pihak merespon terhadap dinamika ketidaksesuaian tersebut. Perlu dicatat bahwa sinyal pasar kerja terhadap ketidaksesuaian atau kesenjangan tersebut tidak dapat diperoleh dengan segera, demikian juga dengan respons dari dunia pendidikan tinggi tidak dapat dilakukan dengan cepat.

Bermunculan juga isu-isu seperti fleksibilitas dalam hal kompatibilitas antara disiplin ilmu dan jenis pekerjaan. Saat ini kita bisa melihat betapa seorang lulusan pendidikan tinggi harus siap beradaptasi dan mau bekerja di luar bidang ilmunya. Kenyataan bahwa lulusan pendidikan tinggi kadang harus mau bekerja di bawah standar kompetensinya adalah fenomena yang makin biasa. Bahkan ada anekdot bahwa saat ini lulusan S2 mengambil pekerjaan S1, lulusan S1 mengambil pekerjaan D3, dan seterusnya. Hal ini tak dapat dicegah sebagai salah satu implikasi dari massifikasi pendidikan tinggi dan oversupply lulusan pendidikan tinggi. Isu lain yang juga berkembang adalah persoalan transisi dari dunia akademik ke dunia kerja itu sendiri, misalnya bagaimana perguruan tinggi dapat berperan dalam upaya pencarian kerja lulusannya, makin panjangnya lama tunggu kerja dan meningkatnya pekerjaan berbasis kontrak yang bersifat sementara.

Perspektif pengetahuan dan kerja

Jika perspektif pasar kerja didominasi oleh ekonom dan sosiolog, maka perspektif pengetahuan dan kerja didominasi oleh para pakar pendidikan dan psikolog. Perspektif ini menekankan pentingnya pemerolehan pengetahuan secara langsung dalam kaitannya dengan deskripsi tugas di dunia kerja. Dengan demikian perspektif ini menganalisis, misalnya, kesesuaian kompetensi yang diperoleh di dunia pendidikan tinggi dengan persyaratan kerja serta kebutuhan untuk merevisi kurikulum jika diperlukan. Perdebatan mengenai lulusan pendidikan tinggi yang generik versus spesifik juga terjadi dalam perspektif ini. Apakah lebih diperlukan lulusan yang “siap-pakai”, “siap-kerja” atau yang “siap-latih”? Juga pertanyaan seputar pendidikan yang teknis dan spesifik apakah sebaiknya dilaksanakan di lembaga pendidikan tinggi ataukah di lembaga kerja? Demikian juga isu mengenai pentingnya menyiapkan lulusan yang berjiwa wirausaha (entrepreneur) sebagai bentuk alternatif kerja bagi lulusan pendidikan tinggi ada dalam ranah perspektif ini.

Tetapi, isu utama dalam perspektif pengetahuan dan kerja yang sedang menjadi tren adalah dirasakannya kebutuhan untuk membekali lulusan pendidikan tinggi dengan
kompetensi di luar dan melampaui pengetahuan kognitif yang sistematik. Dengan kata lain, membekali lulusan pendidikan tinggi dengan berbagai keterampilan di luar pengetahuan dan keterampilan teoretik dan spesifik sesuai bidang keilmuan (fakultas atau departemen). Pada tataran ini kita mengenal istilah softskills yang telah dengan pro-aktif diperkenalkan oleh Ditjen Dikti sejak beberapa tahun yang lalu. Di dunia kerja keberhasilan seseorang lebih ditentukan oleh softskills-nya sedangkan di lembaga pendidikan tinggi aspek kognitif dan keterampilan teknis spesifik bidang ilmu lebih mendapat perhatian dibanding “keterampilan lunak”.

Istilah “softskills” lebih disukai di Amerika Serikat, sedangkan akademisi di Eropa lebih suka menyebutnya sebagai kompetensi atau keterampilan personal-sosial. Microsoft Corporation (2006) mengurai sejumlah 37 komponen softskills dan mengelompokkannya menjadi enam kelompok besar yaitu kualitas individu (individual excellence); keterampilan organisasi; keberanian (termasuk kejujuran dan integritas); orientasi pada tujuan dan hasil (results); keterampilan strategis; dan keterampilan operasional. Teichler (2007) menyebutkan saat ini setidaknya ada lima dimensi keterampilan dan kompetensi yang diperlukan untuk keberhasilan profesional yaitu kemampuan memecahkan masalah; kompetensi untuk refleksi, inovasi, dan kreativitas; kemampuan bekerja di bawah tekanan; keterampilan sosio-komunikasi seperti kerja-tim dan kepemimpinan; serta motif dan nilai-nilai kerja profesional.

Isu lain pada perspektif ini yang juga sedang mengemuka adalah fungsi kualifikasi dalam pendidikan tinggi serta interaksinya dengan perubahan yang cepat di dunia pengetahuan, sains, dan teknologi. Makin cepat usangnya suatu jenis pengetahuan dan bermunculannya jenis pengetahuan baru mengisyaratkan pentingnya pendidikan tinggi menyiapkan lulusannya agar selalu siap belajar setiap saat atau dengan istilah lain belajar sepanjang hayat (lifelong learning), termasuk kemampuan untuk menembus melintasi batas-batas disiplin ilmu.

Perspektif nilai dan pilihan

Tantangan terhadap konsensus motif ekonomi dan status sosial yang mendasari seseorang untuk bekerja muncul dari perspektif baru mengenai nilai dan pilihan. Menurut perspektif ini, setidaknya ada enam wilayah nilai--yang sebagiannya saling berhubungan, yang dapat ditambahkan sebagai motivator kerja seseorang. Meskipun mungkin untuk situasi Indonesia, motif ekonomi dan finansial masih merupakan faktor utama pendorong kerja seseorang, kita perlu cermati nilai-nilai baru yang bermunculan belakangan ini sebagai pendorong kerja utama dan alasan pemilihan kerja.

Keenam nilai baru tersebut adalah pertama, motivasi intrinsik berupa kebanggaan terhadap profesionalisme; kedua, otonomi dalam kerja, yaitu kuasa untuk menetapkan sendiri tujuan kerja, proses, penjadwalan dan sebagainya; ketiga, nilai-nilai yang terkait dengan fungsi inovasi pengetahuan yang sistematis, misalnya kesempatan melaksanakan penelitian, ketertarikan terhadap hal-hal baru, keinginan inovasi dan invensi, serta nilai-nilai ideal mengubah situasi dan kondisi kehidupan menjadi lebih baik; keempat, kondisi kerja dan lingkungan kerja yang dinilai semakin penting dalam pemilihan pekerjaan; kelima, lingkungan sosio-komunikatif di luar dunia kerja seperti alasan terkait lokasi keluarga, sekolah anak-anak dan sebagainya; dan keenam, nilai-nilai mengenai kesetaraan (atau tepatnya ketidaksetaraan) jender dalam dunia kerja.

Dinamika dalam hal nilai-nilai terkait dengan pemilihan kerja perlu terus-menerus diperhatikan karena akan membantu menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi. Misalnya fenomena lulusan perguruan tinggi “kutu loncat” yang mudah berpindah-pindah kerja dapat dilihat sebagai rendahnya loyalitas terhadap tempat kerja, atau refleksi dari kebangkitan kembali zaman neo-liberal dimana uang adalah panglima, atau indikasi dari tingginya demand di suatu bidang pekerjaan tertentu, atau kombinasi dari semua interpretasi tersebut.


Penutup

Demikian telah disajikan ringkasan dari tiga perspektif hubungan dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Pemahaman mengenai berbagai perspektif di atas dapat membantu kita dalam menganalisis dan mengurai benang kusut hubungan kedua dunia tersebut. Dengan memahami secara utuh dan luas, kita justru dapat lebih fokus dalam menemukan pola hubungan spesifik spasial dan temporal serta dengan demikian mengarahkan kita untuk dapat mencari solusi lokal yang terbaik.




Daftar Pustaka
1. Microsoft Corporation. 2006. Professional Leadership, Eduaction Competency Wheel. www.microsoft.com, diunduh Juli 2007.
2. Teichler, U. 2007. Careers of University Graduates, Views and Experiences in Conmparative Perspectives. Springer, The Netherlands.

Sumber tulisan : Ahmad Syafiq






Foto Ahmad Syafiq

Tidak ada komentar:

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer