Selasa, 11 Oktober 2011

Mahasiswa: Terpasung Kampus, Terasing dari Masyarakat

Muhaimin
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogja
Alumni Pesantren Cigaru Cilacap

Kehadiran kampus sebenarnya tidak terlepas dari amanat konstitusi RI yakni mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus menjadi harapan bagi masyarakat untuk mencapai taraf hidup dan kemajuan lebih baik. Demi mencapai hal tersebut, kampus seperti punya aturan main (sistem) tersendiri yang ditujukan kepada sivitas akademiknya termasuk mahasiswa 

Berkaitan dengan sistem kampus awalnya diciptakan untuk menertibkan, mengatur dan bersumber dari kaidah-kaidah mahasiswa. Namun sistem yang ada di kampus ini sangat tidak relevan bagi mahasiswa. Perhatikan saja dengan adanya sistem 75% mahasiswa harus memenuhi kehadiran, bila melanggar maka sanksinya begitu fatal. Hal tersebut menjadikan mahasiswa takut, mau tidak mau mahasiwa harus memenuhi sistem itu dan secara tidak langsung mahasiswa diatur untuk melupakan aktivitas di luar kampus. Dengan adanya keadaan yang seperti itu mahasiswa lupa akan kesejatian dirinya yang merupakan agen perubahan social, agen control social karena mahasiswa hanya disibukan kuliah saja.
 Bila flash back ke masa lalu sistem ini sama dengan NKK/BKK yang diterapkan oleh rezim orba dalam sistem pendidikan untuk mengarahkan mahasiswa menjadi masyarakat ilmiah yang disitu mahasiswa tidak boleh berbicara politik, sosial dan ekonomi bahkan berbicara kondisi social masyarakatpun tidak diperbolehkan. Dan itu adalah kejahatan sosial terhadap substansi mahasiswa, padahal mahasiswa merupakan salah satu wadah curahan perasaan rakyat yang mendambakan perubahan untuk kemajuan. Apalagi mahasiswa sebagai generasi muda yang harus memupuk kekuatan diri dalam suatu gerakan moral dan senantiasa tampil sebagai alat koreksi dan social control terhadap penyelewengan, penindasan, korupsi, ketidakadilan dan penindasan.

Hal itu sama persis di kampus UIN ini yang nota bene sebagai kampus putih, kampus rakyat, kampus perlawanan itu hanya slogan bohong belaka yang ada hanya kampus ekslusif yang secara tidak langsung kampus menjadikan mahasiswa bodoh karena tidak tahu siapa sebenarnya dan posisinya sebagai siapa di tengah masyarakat. Bila meminjam teorinya Paulo Freire dengan konsep kesadarannya, mahasiswa digolongkan berkesadaran “magis” karena mahasiswa tidak akan tahu persoalan masyarakat. Hal ini terbukti ketika kondisi masyarakat kacau dengan sistem yang ada seperti penggusuran, ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa. Ironis, meski keadaan masyarakat seperti itu tetapi hanya sedikit mahasiwa saja  yang peduli akan persoalan tersebut.

Tidak hanya sistem kehadiran 75% saja, mahasiswa juga dibentuk mindset-nya berkaitan tentang prestasi akademik yaitu IPK sebagai mahkota bagi mahasiswa dalam menempuh proses belajarnya di kampus, yang di yakini dengan IPK tinggi mahasiswa akan cerah masa depannya dan dapat memberikan solusi dalam ranah persaingan global. Dengan demikian, efek dari perubahan sosial dan nilai-nilai baru yang diadaptasi oleh kelas menengah (mahasiswa) tercermin dari keinginan untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Ini membuat mahasiswa lebih berpikir pragmatis-ekonomis dari pada memikirkan rakyat dan menjadi elitis tanpa mau bersinggungan dengan masyarakat

Sejalan dengan maksud sistem 75% menjadi aturan sacral, konsekuensi yang menggiringnya ialah tidak ada lagi aktivitas mahasiswa untuk membentuk ruang pulik bagi mahasiswa. Filsuf jerman kontemporer, Jurgen habermas mengatakan suatu komunitas masyarakat sejatinya memiliki ruang public, sarana untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasi. Sebab bangunan ruang pulik bukan hanya sebuah bangunan bagi institusi Negara.

Institusi Negara dalam kontek ini ialah rektorat yang menjalankan roda sistem pendidikan di kampus. Sungguh kontradiktif, jika ekspresi mahasiswa hanya difasilitasi dengan keaktifan kuliah saja dan ini menegasikan ruang public atau ruang yang digunakan mahasiswa untuk mengekspresikan pendapat sekaligus penyambung lidah rakyat. Ruang kelas diperkuliahan hanya ruang eksklusif yang menjadikan aktivitas mahasiswa tak ubahnya “robot” yang tidak diberi pilihan lain kecuali mengikuti rule of the game dari sang pemilik institusi.

Kampus Menjadikan Mahasiswa sama dengan Siswa

Mungkin bila diulas tuntas ketika mahasiswa dirobotkan oleh kampus maka perbedaanya apa dengan siswa, yang setiap hari dalam belajarnya hanya dicekoki oleh gurunya saja. Seharusnya mahasiswa berbeda dengan siswa baik dari cara berfikir, berinteraksi atau berkomunikasi dengan masyarakat. Dari perbedaan ini bisa dilihat, seorang mahasiswa terkadang tidak mampu memosisikan diri sebagai apa di masyarakat dan malah cendrung membanggakan diri dengan predikat kemahasiswaanya. Apalagi bila meminjam istilahnya Antonio Gramsci tentang intelektual organik dan intelektual tradisional. Pada dasarnya mahasiswa itu intelektual. Namun pertanyaannya intelektual apa? Maka dari itu, sangat relevan ketika kita mempertanyakan mahasiswa paradigmanya tidak jauh beda dengan siswa.

Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menjustifikasi mahasiswa sebagai siswa, tetapi tidak dipungkiri juga memang realitasnya seperti itu, seharusnya peran mahasiswa sebagai intelektual yang menyandang predikat agen social change dan social control minimal berusaha memperjuangkan nasib masyarakat dari realitas sosial.

Catatan lain mengenai metafora sistem kehadiran 75% dan sistem-sistem lain yang memasung kreativitas mahasiswa yang lupa akan kesejatianya juga disajikan oleh pramoedya ananta toer dalam tulisan di buku tetraloginya yang berjudul Rumah Kaca. Diceritakan bagaimana tokoh pangemanan, tokoh antagonis dengan ucapanya yang cukup nyentrik, ”pitung-pitung modern yang mengusik rust and orde gubernment telah kutempatkan dalam rumah kaca yang kuletakan di meja kerjaku, segalanya menjadi jelas terlihat”.

Jika kenyataanya seperti itu “pekerjaan rumah” bagi rektorat untuk menghapus sistem-sistem yang membuat mahasiswa seperti siswa. Bila rektorat masih saja mempertahankannya maka mahasiswa sebagai agen social change dan agen social of control masih jauh panggang dari api. Bagaimana bisa menuju kesana, jika mahasiswa terbelenggu sistem yang dikeluarkan rektorat yang menafikan sustansi mahasiswa? Itu hanya bias belaka.

3 komentar:

emjebe mengatakan...

Saya juga mahasiswa UIN gan. 75% Memang jadi masalah.Apalagi yang juga harus bekerja seperti saya. Mau sepintar apapun dikammpus, kalau nggak nyampe 75% kehadiran jangan harap bisa lulus. Oleh karena itu, sekarang itu sudah jarang mahasiswa yang kritis. Sudah jarang mahasiswa yang mau berpikir untuk jadi "boss". Kampus sekarang itu adalah tempat pembodohan. Bagaimana tidak? Intinya yang penting lulus, masuk tiap hari lebih dari 75% pasti dapat A. Isi otak, dan pengalaman? NOL!!!

Setelah LULUS? Kalo jadi PNS yang pegawai yang kerjaannya makan gaji buta, lebih buruk lagi cuma jadi pengangguran yang miskin pengalaman.

Anonim mengatakan...

Kriting boleh juga nulis di sini agar2 uneg2nya tidak membatu di dada... Apalagi kalau km juga alumni Cigaruuu...

Muhaimin mengatakan...

muhaimin: makanya ting..tuk menambah wawasan ayolah kita diskusi di forum bebas tanpa aturan... lo d kmpus tu kurang mendalam, monoton dan menjadi tambah bodo.hehe..

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer