Tujuan tertinggi dalam hidup perempuan adalah kebahagiaan. Jadi, jangan habiskan waktumu untuk mencari batas-batas yang begitu tegas dengan kepalamu.
Sinopsis:
Perempuan-Perempuan Haremku merupakan novel otobiografi karya Fatima Mernissi, sosiolog feminis asal Maroko yang produktif menerbitkan karya-karyanya dalam bahasa Arab dan Perancis, yang memotret kebudayaan Timur Tengah langsung dari si pemilik budaya itu sendiri.Novel ini bercerita tentang keseharian Fatima kecil. Ia memiliki sepupu laki-laki sekaligus teman sepermainan bernama Shamir. Mereka sama-sama memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka hidup di dalam harem Fez, sebuah rumah berisi keluarga besar Mernissi. Di dalam harem tersebut, Fatima dan Shamir sering bergabung dengan kumpulan perempuan yang tak lain adalah ibu-ibu, sepupu-sepupu, dan nenek mereka sendiri. Perempuan-perempuan tersebut terbagi menjadi dua kelompok besar yakni kelompok tradisionalis konservatif dan kelompok revolusionis. Kelompok tradisionalis konservatif dijaga ketat oleh Lalla Mani (nenek Fatima) dan Ibunda Chama. Mereka ingin tetap mempertahankan tradisi-tradisi Timur Tengah dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menolak mentah-mentah gaya hidup Barat dan pemberontakan terhadap tradisi Arab. Sebaliknya, kelompok revolusionis memiliki lebih banyak pengikut, di antaranya Ibunda Fatima, Chama, dan Bibi Habiba. Perempuan-perempuan dalam kelompok revolusionis selalu mempunyai impian dan keinginan kuat untuk terbebas dari tembok harem. Mereka ingin bebas bergerak di luar seperti perempuan-perempuan Perancis. Sedangkan kaum tradisionalis konservatif menganggap harem sebagai jalan terbaik untuk melindungi perempuan muslim dari bahaya-bahaya di luar serta menjaga hubungan erat di dalam keluarga. Uniknya, perbedaan pendapat antar kedua kubu tersebut senantiasa berjalan harmonis. Mereka tetap saling menyayangi dan berinteraksi dalam percakapan-percakapan yang hidup.
Tidak ada kekerasan fisik sama sekali di dalam harem. Fatima kecil menjalani hari-harinya dengan semangat dan penuh pertanyaan. Dia bahkan sangat sibuk dengan pertanyaan apa itu harem. Dia menyerap segala kisah dari ibu, bibi, bahkan nenek Yasmina yang tinggal di harem yang berbeda. Sebuah harem yang menurutnya lebih bebas dan menyenangkan daripada harem yang ditinggalinya. Fatima tumbuh dan menggabungkan kepingan-kepingan petualangannya yang kaya sekaligus alami, yang ternyata dapat terjadi di dalam sebuah harem. Ia tumbuh dewasa seiring dengan pertanyaan paling besarnya pada kemudian hari: apa itu dewasa.
Ulasan Kritis:
“Apakah harem itu rumah tempat seorang laki-laki hidup bersama beberapa istri?”; “Apakah semua laki-laki yang telah menikah berarti memiliki harem?”. Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh tokoh anak-anak dalam novel ini. Dengan kepolosan anak-anak, mereka sangat ingin mengetahui apa itu harem. Inilah cara paling objektif yang dipilih Mernissi untuk mempertanyakan kembali, sambil mendefinisikan langsung dari ceritanya, harem yang selama ini telah didefinisikan dengan cara yang keliru oleh orang-orang Barat. Kepolosan anak-anak tersebut menjadi cara yang tepat karena masih bersifat murni dan belum dipenuhi kepentingan-kepentingan layaknya orang dewasa.Jika dikaji dari segi lokasi strategis—sebagaimana disebut oleh Edward Said dalam Orientalisme—posisi Mernissi sangat tepat dan layak untuk mendapat otoritas karena ia berasal dari Maroko, tinggal di sana, dan menjelaskan sendiri mengenai budayanya.
Mernissi membuat perbedaan antara harem kerajaan dan harem biasa. Orang Barat banyak menggambarkan harem sebagai tempat yang digunakan oleh seorang lelaki kaya dan berkuasa untuk menyimpan banyak istri/budak perempuan yang berpenampilan sensual dan dijaga oleh beberapa pengawal. Harem-harem semacam ini telah lenyap oleh Perang Dunia I.
Mernissi menggambarkan harem yang ditinggalinya sebagai rumah biasa yang berisi keluarga besar Mernissi. Keluarga itu terdiri dari satu nenek, keluarganya, dan keluarga pamannya. Tidak ada poligami dalam harem yang ditinggalinya itu. Di sana, perempuan-perempuan dilarang untuk keluar harem jika tidak ada keperluan mendesak. Selain dari tradisi, sesungguhnya harem itu dimaksudkan sebagai tempat penjagaan para perempuan dari bahaya kehidupan luar. Perempuan-perempuan tersebut berpakaian tertutup. Ada banyak jenis pakaian, yakni qamis, kaftan, fajariya, dan jelaba. Mereka selalu berkumpul dan makan bersama pada waktu yang telah ditentukan. Hal ini membantu pembaca untuk menjernihkan stereotipe Barat yang menganggap harem sebagai sebuah rumah yang selalu berisi banyak istri yang berpenampilan eksotis (baca: erotis). Beberapa lukisan Barat bahkan menggambarkan perempuan-perempuan harem sebagai perempuan telanjang yang gemar bersenang-senang dan dijaga oleh seorang pengawal berpedang. Hal ini tidak berlaku sama sekali dalam harem yang dialami Mernissi.
Selain definisi harem, Mernissi juga membongkar citra perempuan Timur Tengah. Citra perempuan eksotis, bahkan bisa dibilang tuna-akhlak, adalah citra yang dimunculkan oleh orang-orang Barat terhadap perempuan Timur Tengah. Salah satunya pengalaman Flaubert bersama pelacur Mesir yang disindir oleh Said telah memicu orang membuat generalisasi dari citra perempuan tersebut.
Selain itu, orang-orang Timur atau orang-orang Arab ditampilkan sebagai makhluk yang mudah dikecoh, “tak mempunyai energi dan inisiatif.” Bahkan Balfaour dan Cromer secara khas mengemukakan beberapa istilah. Orang Timur dikatakan irasional, bejat moral, dan kekanak-kanakan (Said, 2001).
Hal ini ditepis habis oleh Fatima Mernissi. Ia menggambarkan sosok-sosok perempuan yang luar biasa dan penuh energi dalam novel ini. Perempuan-perempuan yang selalu punya argumentasi dalam perbedaan pendapat (kaum tradisionalis dan revolusionis). Hal itu membuktikan betapa rasionalnya cara mereka berpikir.
Mernissi menggambarkan impian-impian perempuan Timur Tengah dalam narasi yang natural dan meyakinkan, yang dituturkan oleh Ibundanya, “Aku ingin anak perempuanku menjalani hidup ceria, sangat menyenangkan dan seratus persen bahagia, tidak lebih, tidak kurang,” harap ibunda Fatima. Kebahagiaan perempuan, jelasnya, adalah ketika perempuan merasa baik, bebas, cerah, kreatif, puas, mencintai, dicintai seorang laki-laki yang menghargai kekuatanmu, dan bangga akan bakat-bakatmu. Kebahagiaan juga termasuk hak privasi, hak untuk menarik diri dari keramaian dan melakukan perenungan diri, serta hidup bersama dengan orang-orang tercinta sekaligus merasa bahwa engkau adalah pribadi yang unik sehingga kehadiranmu bukan sekedar untuk menyenangkan mereka. Adalah kebahagiaan, ketika ada keseimbangan antara apa yang kamu berikan dan apa yang kamu peroleh.”
Fatima kecil yang beranjak dewasa pun suatu ketika dihadapkan oleh pertanyaan dari Bibi Habiba, “Mengapa memberontak dan menantang dunia jika kamu tidak mampu mendapatkan apa yang telah hilang dalam hidupmu? Dan, hal terpenting yang hilang dalam hidup kita adalah cinta dan seks. Buat apa menggerakkan revolusi jika dunia baru itu hanya akan menjadi kegersangan emosional?” Hal tersebut menandakan mereka sebagai makhluk rasional, penuh argumentasi dan pertimbangan dalam melakukan sesuatu. Suasana tersebut muncul di dalam sebuah harem dan menjadikan suatu gambaran bahwa sikap kritis justru muncul dari pengekangan.
Hal lain yang disampaikan oleh Mernissi adalah semacam ironi bagi kaum Barat. Hal yang diinginkan perempuan-perempuan revolusionis di dalam harem dari budaya Barat itu, jika diamati secara psikologis, lebih pada kebebasan romantika. Mereka ingin dapat berdansa seperti perempuan-perempuan Eropa dan bercumbu di jalan-jalan, yang sama sekali tidak patut dalam budaya Timur Tengah. Hal ini bisa menjadi semacam pertanyaan, jika bukan sindiran, bagi Barat mengenai nilai-nilai moral itu sendiri: benarkah orang-orang Timur adalah para amoral? Rasionalitas dan pendidikan modern yang dielu-elukan oleh Barat justru bukan menjadi sesuatu yang dicemburui oleh perempuan di dalam harem. Mereka mempunyai cara berpikir, bernalar, dan belajar sendiri.
Hal lain yang menarik disampaikan adalah cerita mengenai Syahrazad (tokoh Seribu Satu Malam) dalam bab kedua “Syahrazad, sang Raja, dan Kata-Kata”. Dalam catatan novelnya, Mernissi secara gamblang berkata bahwa dirinya, terkejut mendapati bahwa beberapa pengamat Barat menganggap Syahrazad sebagai penghibur yang menceritakan kisah dengan kemasan menawan. Padahal bagi Mernissi dan orang-orang di lingkungannya, Syahrazad dianggap sebagai seorang pahlawan perempuan yang pemberani dan pemikir hebat yang menggunakan pengetahuan psikologisnya tentang manusia sebagai strategi untuk berjalan lebih cepat dan melompat lebih tinggi.
Bukankah dengan demikian Mernissi ikut berkata bahwa beberapa pengamat Barat tersebut kurang dapat memaknai sebuah kisah, bahkan mungkin tanda? Mereka lebih suka merespon aspek-aspek permukaan saja, sehingga tidak memiliki, dalam istilah Said, formasi strategis yang tepat dan utuh.
Demikian ulasan terhadap novel Perempuan-Perempuan Haremku. Dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi strereotipe yang diajukan Barat terhadap harem, perempuan, dan tradisi Timur Tengah perlu dibongkar lagi. Fatima Mernissi, lewat novelnya, telah melakukan usaha penjernihan ulang gambaran harem yang selama ini telah keliru dan disebarluaskan oleh para orientalis Barat. Ia juga melakukan kritik dengan gaya ironi terhadap pandangan Barat mengenai perempuan-perempuan Timur Tengah. Sebuah novel penting yang tidak hanya membawa semangat kebebasan perempuan, tetapi juga semangat membongkar orientalisme, dan layak dibaca baik oleh Timur maupun oleh Barat, laki-laki maupun perempuan.
Sumber: mediasastra.com
1 komentar:
saya masih mencari beberapa buku terjemahan terutama novel. dan buku ini mungkin sudah mewakili bagaimana harem sesungguhnya dalam tradisi arab_maroko khususnya_sekaligus mewakili beberapa pertanyaan pribadi saya terkait harem itu sendidri dalam benak saya. saya sempat sedikit kacau ketika membaca beberapa karya satra timur yang cenderung meninggalkan timur, ke barat-baratan. seperti beberapa karya milik bang orhan yang tanpa kejelasan yang pasti selalu tarik ulur antara barat dan timur.
salam, hd asrul
Posting Komentar