Minggu, 09 Oktober 2011

Keriangan dalam Bedah Novel Ning Aisya

13 April 2008, gegap gempita sastra pesantren bergema di bumi Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Lautan ilmu yang berisikan tinta-tinta mulia sesuai dengan titah KH. Wahab Hasbullah pendiri Bahrul Ulum yang tertuang dalam surat al-Kahfi ayat 109 mulai terbaca. Minggu yang tercatat dalam benak-benak santri jadi saksi tersendiri, kalau sastra pesantren mulai meretas dalam dada mereka. Bedah novel dengan tema “Menguak Keajaiban Pesantren Melalui Pena” agaknya menjadi testimoni dalam perjalanan sastra Indonesia. Trilogi Ning Aisya yang ditulis oleh Camilla Chisni dan Jadilah Purnamaku Ning oleh Khilma Anis, menjadi bukti, pesantren tak hanya berkutat dengan tradisionalisme, lebih dari itu ternyata santri bisa meramaikan kancah dunia modern.

Kedua penulis muda berbakat tersebut merupakan kakak kelas saya di PP. Bahrul Ulum dan menempuh lintas pendidikan di MAN Tambakberas Jombang. Usai acara dibuka oleh sambutan panitia dan pengasuh, bedah novel yang merupakan rangkaian dari acara Mentoring yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Alumni Bahrul Ulum (Himabu) ini, segera diambil alih oleh saya selaku moderator. 
Bedah novel Trilogi Ning Aisya (TNA) dan Jadilah Purnamaku, Ning (JPN) dimulai dengan paparan dari Pembanding, yakni Dra.Nur Faizah, guru bahasa Indonesia di MAN Tambakberas Jombang. Bu Nunung, begitu ia akrab disapa, pertama kali mengupas mengenai JPN. Bu Nunung mengatakan bahwa Khilma dalam kapasitasnya sebagai alumni kelas Bahasa, banyak menggunakan diksi yang sarat metafor. Kedekatan Khilma dengan dunia pewayangan, mengantarkan JPN sebagai novel yang penuh dengan deskripsi pewayangan yang terkadang membuat orang harus mengerutkan dahi. Kritik yang kemudian dilontarkan Bu Nunung pada Khilma adalah mengenai banyaknya kata-kata berbahasa Jawa yang sulit dimengerti karena berhubungan dengan dunia pewayangan. Dan meskipun sudah ada terjemahannya, peletakan terjemahan pada end note, membuat pembaca harus membolak-balik JPN agar mengerti kata-kata tersebut. Selain itu, Bu Nunung juga sedikit dibingungkan oleh penggunaan sudut pandang, ada kalanya menggunakan sudut pandang orang pertama, ada kalanya menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Usai memberikan komentar pada JPN, Bu Nunung mulai membincang TNA. Dalam TNA, Bu Nunung menyatakan kemafhumannya pada bahasa lugas dan kritis yang diusung oleh penulisnya. “Tulisan Ning Mila ini khas anak IPA; lugas,” demikian komentar Bu Nunung. Yang membuat Bu Nunung salut adalah keberanian penulis untuk melakukan kritik dari dalam (internal critic) karena Camilla sendiri merupakan bagian dari pemegang estafet kepesantrenan. Berbeda dengan JPN yang menggunakan alur maju, TNA menggunakan flash back sebagai alurnya. Adapun kritik yang dilontarkan terkait dengan TNA adalah munculnya kesulitan dalam membedakan mana kisah yang terbaca dalam agenda dan mana kisah yang terjadi pada saat pembacaan terhadap agenda terjadi, dan ini adalah hal yang mengganggu keasyikan membaca TNA.

Setelah pembedah memberikan komentar, giliran Khilma menyampaikan sedikit cerita mengenai JPN yang mengetengahkan konflik percintaan yang terbelenggu dalam trah pesantren dan trah kejawen dengan Nawang Wulan sebagai tokoh utamanya. Dengan kalimat-kalimat yang lincah, Khilma banyak mengupas mengenai penulisan dan visi Matapena. Khilma menekankan tentang mudahnya menulis dan asyiknya menjadi penulis.

Tak berselang lama, giliran Mila menyampaikan sekelemit kisah terkait TNA. Mila mulai berbicara dengan berdiri di depan forum dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan atraktif sehingga forum menjadi lebih hidup. Dalam pemaparan singkatnya, ia menekankan bahwa menulis merupakan sebuah proses. Kadang mudah, kadang susah. “AA. Navis mengirimkan 99 cerpen dan kesemuanya ditolak. Sampai akhirnya, Robohnya Surau Kami, menjadi cerpen pertamanya yang diterima publik,” tandasnya. Terkait dengan TNA, penulis yang kini sedang menyelesaikan studi S2 di UIN Jogja ini mengungkapkan bahwa TNA dibangun berdasarkan pembacaan Aisya atas masa lalunya. TNA merupakan suatu karya yang mengajak pembacanya untuk berpetualang menelusuri sudut-sudut pesantren dengan melakukan pembacaan terhadap realitas di dalamnya dengan kritis namun tetap santun.

Usai pemaparan tersebut, giliran peserta melakukan tanya jawab. Pukul 13.00, usai pembagian doorprize, 70 peserta bedah buku memberikan applaus untuk ketiga narasumber. Saya pun tersenyum lega, “Alhamdulillah acara berlangsung sukses.” Tak lama, tiba-tiba pundak saya ditepuk seseorang. Sosok yang sudah saya anggap kakak sendiri itu tersenyum cengengesan, “Tar malem anak-anak Himabu kuajak ke rumah. Ya..tahlil ama dinner gitu. Nah, habis ini Iluk bantu-bantu aku ya?” Kutatap Ning Mila dengan cengiran juga, “Ok, Boss!”


Ditulis oleh Asiyah Lu’lu’ul Husna
Mahasiswi Jurusan BI UNY
Penulis puisi “Keraguanku” yang dimuat di Horison, April 2006 


Tidak ada komentar:

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer