Sabtu, 08 Oktober 2011

Komunitas Matapena: Melahirkan Para Novelis dari Pesantren

Novel-novel pop marak diproduksi para santri. Tabir pesantren diungkap dengan gaul.

Cinta kemuliaan, membuat Dahlia rela banting tulang menjadi penari untuk menghindari keluarganya yang miskin. Cinta kebaikan membuatnya selalu ingin belajar untuk lebih baik. Dahlia memang perempuan yang dipenuhi cinta. Tak heran jika puetra dua pengasuh pesantren, Aiman dan Bilal jatuh hati padanya.
Jalinan cerita juga memunculkan konflik. Mbah Jalaluddin Rumi, ayah Aiman, membela Dahlia ketika Kiai Umar dan ormas Islam lainnya menyudutkan Dahlia dengan tariannya--yang dianggap haram.


 Ada kisah lain lagi. Seuntai mawar dan surat berisi puisi tanpa nama pengirim tiba-tiba muncul di asrama pesantren puteri tiap akhir pekan. Mawar dan puisi itu ditujukan kepada Zahra. Pesantren puteri itu pun jadi geger.
Zahra tak tahu siapa pengirimnya. Karena itu ia bungkam ketika ditanya oleh petugas keamanan pondok. Gosip pun bererdar. Ada lesbi di asrama itu yang diam-diam mencintai
 Zahra. Sanah, santriwati senior yang selama ini dikenal dekat dengan Zahra, jadi tertuduh.
Isu ini khas pesantren, karena memang tak boleh seorang laki-laki pun memiliki akses ke pesantren puteri, kecuali keluarga kiai.
Dua cerita di atas adalah cuplikan novel Tarian Cinta dan Gus Yahya Bukan Cinta Biasa, dua dari banyak novel bergaya teenlit yang lahir dari pesantren, sekolah yang selama ini dianggap tidak gaul.
Kehadiran teenlit (teen literature) pesantren adalah buah dari maraknya novel teenlit impor yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Teenlit terjemahan itu menampilkan tokoh dan gaya hidup remaja kota yang relatif liberal. Remaja belasan tahun sudah terbiasa berciuman dengan lawan jenis dan pergi ke pesta-pesta.
Novel remaja, karya anak muda yang hidup dalam dunia yang berkecukupan ini, kerap menampilkan tokohnya yang mempunyai mobil probadi, kerap berlibur ke seantero dunia, nongkrong di kafe, memuja bintang pop, dan berbelanja di pertokoan terkenal.
Dengan mengadaptasi gaya dan teknik penceritaan seperti itu, sejumlah pengarang muda di Indonesia menulis teenlit ala Indonesia. Jumlahnya sangat fenomenal. Bahkan, beberapa di antaranya telah diangkat ke layar perak dan layar gelas.
Kini hadir pula novel pop gubahan para santri belia yang memberi warna tersendiri dalam dunia buku sastra remaja.
Teenlit pesantren berbicara tentang remaja dan ditulis oleh remaja. Fina Af’idatussofa, penulis Gus Yahya Bukan Cinta Biasa, misalnya tahun ini baru menjelang 17 tahun. Sementara Maia Rosyida, penulis Tarian Cinta, belum lagi 20 tahun.
“Gaya bahasa yang digunakannya pun sama, yakni bahasa gaul remaja yang sedang tren: penuh dengan istilah Inggris, banyak akronim dan style Jakarta,” jelas Redaktur Majalah Seni Gong, Hairus Salim.
Tapi jika ditelesik, kata Manajer Matapena, Nur Ismah, tetap ada sesuatu yang berbeda dalam teenlit pesantren. “Ada semacam pandangan khas pesantren, yang membuat ia tidak sekadar jadi cerita cinta remaja saja,” jelas Ismah (baca: Menelusuri Lokalitas Pesantren).
Ia lalu mencontohkan karyanya, Jerawat Santri. Ada tokoh Mahsa yang memberikan semacam kuliah mengenai reproduksi berdasarkan kaca mata fikih dan psikologi sosial kepada yuniornya, Una. Dalam Coz Loving U Gus karya Pijer Sri Laswiji (2006), ada tokoh Rara yang menolak poligami. Untuk itu, Rara yang berjilbab modis mesti membatah dan berdebat dengan para seniornya di kampus.
Sedang dalam Taria Cinta karya Maia Rosyida dikisahkan kearifan dari Mbah Jalalauddin Rumi. Sang kiai tak serampangan memberi fatwa haram tarian Dahlia yang meniru gaya Toxis-nya Britney Spears.
“Nah, itu kan bukan sekadar cerita-cerita remaja to?” tegas Nur Ismah.
Ciri khas teenlit pesantren juga dipaparkan Hairus Salim. “Ada istilah-istilah fikih, referensi kitab dan buku pesantren, humor ala pesantren, bahasa prokem pesantren, dan lain-lain,” kata Salim yang sering meneliti sastra pesantren. Tengok polah Hadziq, santri Mbah Jalaluddin Rumi dalam Tarian Cinta, yang bersemangat membahasa kitab Qurratul Uyun. “Sengaja milih kitab yang agak menghibur. Maksudnya yang agak ‘porno’ biar nggak terlalu pusing dengan rumus nahwunya,” tulis Maia Rosyida dalam Tarian Cinta.
Ana FM dalam Cinta Lora menggunakan istilah ilmu hadis, serta panggilan khas untuk putera kiai di Madura yaitu Lora—disingkat dengan Ra—juga ditampilkan. “Menrut cerita yang dapat dipertanggungjawabkan alias mutawatir, Ra Faris dikenal sebagai aktivis yang superaktif dan tidak pernah ada kata cewek dalam kamus hidupnya,” tulis Ana.
Karya Fina, Maia, Ismah, Ana, dan banyak penulis muda lainnya itu dipublikasi penerbit Matapena yang berbasis di Yogyakarta. Lembaga ini memang paling giat membidani kelahiran teenlit pesantren. Kehadiran novel-novel itu dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dari novel remaja yang sudah terbit. “Matapena ingin memperkenalkan sosok remaja pesantren yang selama ini luput dari perhatian, bahkan sering dianggap tidak gaul,” kata Nur Ismah.
Untuk kepentingan ini, dibentuklah Komunitas Matapena. Ini adalah komunitas penulis muda pesantren. Mereka berkeliling ke sejumlah pesantren, menggelar diskusi buku dan membuat workshop penulisan. Kini sudah ada 45 rayon yang berbasis di pesantren-pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Untuk Jakarta dan Banten sedang dirintis. “Jumlah penulis yang telah direkrut sekitar 300-an,” ujar Ismah.
Sejak berdiri pada akhir 2005, Matapena berhasil meluncurkan 20 novel. Beberapa di antaranya telah dicetak ulang, bahkan Santri Semelekete karya Ma’rifatun Baroroh dan Pangeran Bersarung sudah dibeli sebuah rumah produksi untuk diangkat ke layar sinetron.
Sedangkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang juga giat mengembangkan kemampuan menulis di kalangan remaja Islam mengakui tidak mempunyai lini khusus yang menangani sastra pesantren. “Walaupun begitu, ada juga novel dari komunitas kami yang mengambil latar cerita kehidupan pesantren,” kata Ketua FLP Yogyakarta I. R. Wulandari.
Menurut Salim, pertumbuhan generasi baru penulis novel dari pesantren saat ini bagi cendawan di musim hujan. Unik, memang. Mengingat umumnya pesantren masih melarang santrinya membaca buku-buku ‘putih’, yaitu buku karya penulis anyar apalagi dianggap pop. “Mereka hanya diwajibkan untuk membaca dan mempelajari kitab kuning, yakni buku-buku keagamaan yang ditulis dalam bahasa Arab,” ungkap Salim.
Pandangan ‘kaku’ seperti itulah yang menyulitkan Ismah masuk ke pesantren. Tetapi setelah melakukan pendekatan kepada kalangan pimpinan pondok bahwa gerakan ini untuk kepentingan satri, barulah kehadiran mereka disambut baik. “Kini bukan lagi kami yang menawarkan, sejumlah pesantren juga telah meminta para penulis Matapena untuk memberikan workshop penulis di pesantren-pesantren mereka,” jelas Ismah.
Jika diperkirakan ada sekitar 3 jutaan santri di seluruh Indonesia, maka hadirnya karya-karya remaja pesantren jelas cukup rasional dari segi pasar. Tapi bukan soal pasar yang paling penting. Komunitas Matapena, dengan caranya sendiri telah mengembangkan kegiatan menulis. Mendorong minat baca, kini mereka jadikan sebagai suatu gerakan. Sebuah tindakan terpuji yang patut didukung, bukan dipasung. 


Oleh: Nurul H. Maarif, Gamal Ferdhi/Majalah Tempo
 

Tidak ada komentar:

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer