Karya Rene Margritte |
Oleh : M.Ridwan
Santri PP Cigaru
Senja kian menciptakan bayang-bayang di timur bebukitan gersang. Sisa-sisa hari masih berlaku sibuk bagi pemuda-pemuda bersarung –berkopyah putih yang berlalu-lalang di suatu pondok pesantren. Namun, kali ini, bukan gemuruh suara kitab-kitab kajian para santri, tapi, mereka sibuk antri berwudhu sambil sesekali menjawab suara adzan yang ketika itu terdengar begitu indah. Ya, tentu ada juga yang menganggap suara itu tak begitu indah di hatinya. Terutama bagi yang merasa suaranya lebih bagus atau yang menyimpan rasa tak sedap di hatinya pada muadzin itu. Begitulah. Namun, bagaimanapun, mereka semua tetaplah para santri yang sebentar lagi akan menjalankan sholat maghrib bersama-sama.
Beberapa jam kemudian, bayang-bayang malam kian mengundang dingin di kulit beberapa santri yang tengah asyik bercakap-cakap di tengah malam. Peraturan pesantren mengatakan bahwa santri tidak boleh tidur larut malam. Para santri harus tidur seusai mengaji dan belajar, paling malam jam sebelas. Sedangkan sekarang jam satu pagi. Oh, ternyata mereka tidak sedang melanggar aturan pesantren. Tapi, sebaliknya, mereka menjalankan kewajiban, yaitu giliran ronda malam. Mereka ronda sambil asyik bercakap-cakap.
Seperti biasa, seorang pengurus yang mendapat giliran mengawasi ronda pun berbaur dengan mereka. Namun, sepertinya suasana malam ini begitu berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Mereka berbincang-bincang dengan pengawas ronda itu apapun yang tak pernah mereka anggap layak dibincangkan dengan pengawas ronda yang lain. Entah saking akrabnya dengan pengawas yang satu ini ataukah mereka sudah tak tahan lagi ingin mengungkapkan kata-kata itu.
“ Kang, sudah lama, saya ingin mengungkapkan keluh-kesah kami .. “ kata Shodiq, salah satu santri yang mendapat giliran ronda malam itu.
“ Ada apa, Shodiq? “ Tanya kang Musytaka, si pengawas ronda.
“ Sebenarnya, sewaktu dulu, kami sering melakukan pelanggaran di pesantren ini “
“ Ooh, apa itu Shodiq? “
“ Begini, kang, sewaktu sistem ronda belum berlaku pengawasan seperti sekarang, kami sering keluar dari area pesantren ini “
“ Memangnya ada apa di luar, Shodiq? “
“ Ya, kami cari-cari yang anget-anget deh, entah makanan atau minuman “
“ Oh, kan bisa beli di kantin sebelum berangkat ronda “
“ Iya sih kang, tapi, kami sering kelupaan atau ketiduran untuk siap-siap ronda, biar nggak ngantuk “
“ Ya, tapi, besok, jangan lagi-lagi ya.. itu kan pelanggaran. Kalian bisa dihukum lho.. “
“Sebenarnya, kami nggak keberatan kok andaikan kami nantinya dihukum atas kesalahan itu, iya kan temen-temen? “ sahut Rifqi yang sejak tadi hanya mendengarkan. Dan sepertinya anggota ronda ini sudah kompak sekali.
“ Iya, iya, betul.. “ jawab Shohibun dan Qorib.
“Cuman, kang.. “ lanjut rifqi dengan terburu-buru.
“Cuman apa, Rifqi..? “ sahut kang Musytaka.
“Cuman, kami kesal dengan para pengurus.. sebelumnya, maafkan kami, ya kang? “ pinta Rifqi seperti menghormati kang Musytaka.
“Ya, ya, katakan saja “ sambut kang Musytaka sambil tersenyum.
“Begini kang, hampir setiap malam selasa dan jum’at sehabis acara bersama di aula pesantren, kami dengar peraturan-peraturan pesantren untuk para santri. Ketika dibacakan pun mereka selalu menggebu-gebu seperti meyakinkan bahwa mereka sama sekali tak pernah melanggar satu pun peraturan-peraturan itu. Seolah, mereka selalu menghadapkan sebuah cermin ke arah kami, agar kami bercermin dan introspeksi diri. Namun, mereka sama sekali tak pernah membalikkan cerminnya dan mencerminkan wajah-wajah mereka pada kaca yang tak pernah berdusta itu “
“Kami tahu kesalahan pelanggaran-pelanggaran yang mereka perbuat, kang “ sahut Shohibun dengan tergesa-gesa, sepertinya gemas sekali, ingin menceritakannya.
“Benarkah? Apa saja? “ Tanya kang Musytaka, penasaran.
“Mereka sering keluar malam dan bukan di waktu-waktu ada acara penting keengurusan atau tugas dari kyai ataupun undangan khusus kepesantrenan misalnya. Itu sudah terlampau malam. Dan bukan hanya itu, sebenarnya, masih banyak lagi. Saya contohkan satu. Kang tahu mantan pacar kang Amir? “
“Oh, mba Ma’muroh, yang sekarang pindah ke pondok tahfidzil qur’an? ”
“Iya, iya, betul. Untungnya sekarang mba Ma’muroh pindah, mungkin dia sudah sadar. Dulu, kang Amir sering berpacaran dengannya di suatu tempat, biasanya sehabis pulang sekolah hingga sore “
“Ya, kami saksinya ..“ sahut Rifqi dan Shodiq.
“Sebelumnya, maafkan kami, kang. Bukan niat kami menjelek-jelekan, cuma mengkhabarkan hal yang sebenarnya “ terus Shohibun.
“Iya, lanjutkan.. “ sambut kang Musytaka.
“Sebenarnya masih banyak lagi yang tak mampu kami ceritakan. Karena, andaipun kami ceritakan pada para pengurus, kami tak punya bukti yang kuat, semisal rekaman video atau setidaknya foto perbuatan mereka, atau apa lah. Kan, kami tak membawa alat-alat semacam itu sesuai peraturan pesantren ini “
“Terus? “ kata kang Musytaka tetap ingin mendengarkan curhat mereka. Shohibun menghela nafas.
“Atau, andaikan ada bukti, tentu, sepengetahuan kami akan sifat mereka, tentu mereka akan memperkuat diri agar selalu terlihat benar seperti sekarang-sekarang ini. Coba kang, bayangkan! Mereka menggebu-gebu ketika memojokkan kami, tapi, sekalipun tak pernah mencerminkan diri dan mengakui keburukan baju akhlak mereka. Cermin yang mereka bawa tak pernah menghadap ke wajah-wajah mereka. Mereka selalu katakan : “Ayo, cerminkan wajah kalian ke sini.. “ Debar-debar kalimat diucapkan Shohibun layaknya sastrawan.
“Hahaha, bahasamu bagus, bun.." puji kang Musytaka.
“Kang, kami bercurah hati pada kang karena kami percaya kang takkan memberitahukan bahwa kami lah yang mengungkapkan kisah-kisah ini" kata Shodiq, menggantikan Shohibun yang sepertinya nafasnya masih terengah-engah setelah bercerita panjang tadi.
“Oh, iya, iya, terima kasih.. tapi, kalian tetap mau dihukum besok kan?" Tanya kang Musytaka.
“Nggih, kang.. “ jawab mereka, kompak.
“Alhamdulillah.. “ syukur kang Musytaka.
Dingin malam tak berani lagi menyentuh kulit para santri yang sudah terdiam setelah baru saja tempat itu jadi pusat suara di malam sesunyi itu. Kehangatan bahkan yang agak memanas tadi kini makin tebal menyelimuti mereka.
Tiba-tiba.. “Pyarr..." ada suara benda pecah.
“Apa itu.. “Semua yang di sana terkaget.
Ternyata, ada se-papan cermin kusut dari dinding di tepi jalan jatuh di bebatuan, berkeping-keping di hening jalanan malam.
“Oh, semoga kita semua tetap bisa sama-sama mencerminkan wajah-wajah kita di cermin yang tetap utuh dan selalu bening sebelum suatu saat cermin itu terjatuh di bebatuan menjadi berkeping-keping. Sampai-sampai masing-masing kita hanya mampu bercermin dengan sebilah kecil potongan kaca. Hingga kita melihat dunia hanya dengan sebelah mata," tutup kang Musytaka. (mr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar