Oleh: Zacky Chaerul Umam
Dunia sastra Indonesia patut berapresiasi. Sastrawan Arab yang juga pemikir Arab, Ali Ahmad Sa'id (akrab dipanggil Adonis), memberikan ceramah di Jakarta dan Yogyakarta, hingga Kamis esok. Di Salihara dan Utan Kayu, Adonis sudah memberikan beberapa aspek pemikirannya tentang "kebenaran puisi dan kebenaran agama". Sebetulnya tak saja kalangan sastrawan atau peminat seni dan sastra yang datang antusias mendengarkan langsung karya dan pemikiran dari sang penulis langsung. Karena ia mengkritik cara beragama, tentu saja kalangan agamawan dan masyarakat umum relevan dengan ceramahnya.
Tak terbayang. Adonis sudah tak asing. Saya pernah menulis satu resensi buku dan dua artikel tentang pemikiran Adonis di Kompas, tahun lalu. Akhir tahun lalu pula, skripsi saya "Kritik Kebudayaan Arab-Islam dalam Pemikiran Adonis", dengan telisik fenomenologi ,selesai dan mendapatkan "mumtaz" di Program Studi Arab UI. Padahal, baru setahun lebih saya mengenalnya sebelum skripsi ditulis. Dengan bantuan beberapa kolega, juga bantuan Amazon yang mahaluas, beberapa buku Adonis kudapatkan, meskipun harus membayar lumayan, saat itu.
Di ceramah dalam program Festival Salihara, Adonis menulis makalah panjang yang sebetulnya tak terlalu baru. Isinya akan sama ketika kita membuka lembaran kritiknya dalam "Al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts al-Ittiba' wa al-Ibda' inda al-'Arab" ([Mazhab] Yang Tetap dan [Mazhab] Yang Berubah]: Kajian Imitasi dan Kreasi di Kalangan Bangsa Arab); juga buku-buku yang lain. Intinya, puisi selalu menawarkan kebaruan, sedangkan (nalar) agama menentukan. Tidak ada yang baru dalam beragama, karena teks telah menjadi otoritas yang dibakukan, juga sudah ditelikung dengan kekuasaan dalam sejarah panjang peradaban Arab-Islam. Puisi yang baik, menurut Islam, harus mengikuti kaidah-kaidah agama. Kata Adonis, ini sumber kemunduran peradaban (inhithat al-hadlara). Seperti Plato, Islam awalnya tak menyukai ekspresi kebebasan bersusastra.
Puisi, sebaliknya, bukan bermuara pada satu sumber yang tunggal, tetapi membuka cakrawala keserbamungkinan yang malah tak bisa ditangkap oleh orang biasa. Puisi merupakan saksi zaman yang menggairahkan. Kalau agama (samawi) berprinsip pada monoteisme, maka puisi seharusnya bersifat terbalik. Kenapa puisi? Karena puisi, dalam dunia Arab, adalah intisari kesusastraan itu sendiri yang amat diagung-agungkan. Duga saya, Adonis selalu mengkritik agama (Islam) menjadi kekuatan yang tetap saja, sementara jika mau menjadi kekuatan yang berubah, ia lebih menggunakan kekuatan sastra. Tetapi, tidak hitam putih seperti ini. Meski Adonis mengungkap tentang ateisme sebagai "modernitas pertama", ia tidak anti-agama. Adonis menyerukan untuk "pembaruan dalam agama itu sendiri", bukan bermenung dalam kediamdirian.
Nah, jika jeli membaca buku Adonis yang disebutkan di atas, ia ingin meneguhkan suatu "bianglala peradaban". Adonis menghadirkan "sang liyan" (the others) dalam bangunan pemikirannya. Terutama dalam bidang politik, agama, sastra, gerakan kegamaan, filsafat, dan seterusnya. Makanya, ada yang bisa terjebak ketika berprasangka kenapa Adonis memuji Khawarij, Abu Nuwas, dan seterusnya yang menurut sejarah Arab-Islam umumnya selalu dipandang rendah. Kekuatan yang berubah, menurut Adonis, tak muncul dari satu arsenal, melainkan banyak segi. Yang ia puji dengan Khawarij, misalnya, adalah tentang kekuatan revolusioner dan kreativitas sajak. Juga dengan kekuatan klandestin Qaramith yang anti-hegemonik kekuasaan Abbasiyah. Pemikiran rasional khas Mu'tazili, hingga ateisme khas al-Rawandi dan al-Razi menjadi landasan kekuatan yang lain yang tidak terpaku pada keajekan. Juga, pendekatan kegamaan kaum sufi, yang tidak membuat atomisasi seperti dibuat para fukaha, adalah pendekatan esoterik yang membangkitkan kesadaran tertinggi dengan intuisi (al-dzawq). [Tentang yang terakhir sangat inspiratif membaca Al-Suffiyyah wa al-Suriyaliyyah "Sufisme dan Surealisme"]. Juga, yang ia paparkan lebih dari sepertiga buku yang berjilid 4 di atas, adalah kekuatan yang berubah dari para penyair dan kritikus Arab, klasik dan modern.
Kalau berpikir terlalu dini, ko bisa Adonis menjunjung rasionalisme dan ateisme sebagai kekuatan berubah, tetapi juga menyandingkan kegamaan esoterisme yang seolah-olah meniadakan akal, sebagai sama-sama kekuatan yang berubah (al-mutahawwil)? Adonis berasumsi, perubahan datang dari banyak hal, dan esensi utamanya ialah "kebebasan" (hurriyah). Dalam sebuah sesi diskusi, ia menyebut, agama sendiri sebetulnya menghargai kebebasan, tetapi kenapa kemudian banyak yang dogmatis. Dalam hal lain, kenapa ia terlalu keras mengkritik Arab-Islam. Kata dia, karena ia amat mencintai Islam, "Jika saya tak mencintainya, mana mungkin saya mengajukan kritik!" Yang dia sayangkan, "umat Islam hari ini kebanyakan tak bisa berpikir dan bernalar seperti ketika Islam datang pertama kali--tak berstandar kitab suci". Pernyataan ini, dalam bukunya yang lain berjudul "Al-Nash al-Qur'ani wa Afaq al-Kitabah" (Teks Quranik dan Cakrawala Penulisan), Adonis sesungguhnya memuji tradisi liteter Kuranik yang indah dan menawarkan kebaruan, hanya sayangnya kenapa kemudian umatnya cenderung tertunduk pada kejumudan. Kekuatan literer Kuranik yang luar biasa semestinya menjadi sumber kreativitas yang tak terbatas untuk berkreasi.
Kembali ke inti persoalan, perubahan atau al-tahawwul bisa datang dari mana saja, dengan syarat ketika ia tidak tersungkur karena hegemoni kekuasaan, sentripetalitas kebenaran, dan meniadakan sang liyan. Untuk itu, kajian fenomenologi yang cermat menekuni "kehadiran" dan "kegaiban" bisa sangat klop untuk memahami tulisan Adonis--meski Adonis sumir menyebut metodenya itu. Tetapi sepertinya, seperti ternukil sedikit dalam beberapa tulisannya, dalam hal filsafat, ia terpengaruh oleh Nietzsche dan Heidegger. Dalam sastra, tradisi surealisme mempengaruhi. Ia menyebut banyak tentang Rimbaud dan Baudelaire dari Perancis serta Rilke dan Goethe tradisi Jerman. Semangat penyair-kritikus Amerika, TS Eliot, sempat membuat pengaruh yang lumayan melalui Yusuf Al-Khal, kolega senior Adonis, hingga gerakan pembaruan sastra Arab yang dipimpin Adonis era 1950-an akhir mencuat. Saat itu, jurnal "SYI'R" sangat prestisius. Jurnal "Mawaqif" yang didirikan Adonis di Lebanon 1960-an, setelah pindah karena karut marut politik Suriah, kemudian menjadi jangkar pembaruan sastra Arab.
Sastra inilah, yang selalu menjadi subordinat dalam peradaban Arab era Formatif di abad pertama hijriah hingga menjadi stagnan, yang diangkat. Dan Adonis, menjadi "nabinya".
Yang saya telusuri baru kritik dan pemikirannya saja. Sebetulnya, inti karya agungnya terdapat dalam kumpulan-kumpulan puisinya, karena itu penting untuk menulis karya ilmiah tentang sastranya, dari segala sudut, khususnya dii negeri ini. Salah satu karya awal yang paling memberikan warna berjudul "Aghani Mihyar al-Dimasq" (Gita-gita Mihyar dari Damaskus), salah satu sajaknya, yang diterjemahkan Achmad Mulyadi, ilmuwan dari UIN Jakarta yang sempat memperdalam Arabistik di Jerman:
Seorang Tuhan telah mati/Tuhan yang dulu turun dari sana/dari tengkorak langit.//Siapa tahu/dalam ketakutan dan kehancuran/dalam keputusasaan dan di tandus tanah padang pasir/dari kedalamanku muncul seorang Tuhan
Lengkapnya, buku ini akan dilaunching Kamis esok. Goenawan Mohammad memberikan pengantar. Ini buku puisi kedua Adonis yang diterjemahkan Achmad Mulyadi. Konon, buku paling belakang puisi-puisinya yang berjudul "Al-Kitab" (1995, 1998) terinspirasi oleh Al-Mutanabbi, penyair besar era pertengahan di Arab yang ingin menyerupai kenabian, yang ingin "menandingi" otoritas kitab suci--baca: kitab suci kesusastraan.
Seperti tertulis dalam banyak kesempatan, di Indonesia, Adonis menegaskan pentingnya "kebebasan" sebagai prinsip dasar manusia. Liber libera phallus...
Demikian, sekadar mukaddimah saja. Terima kasih untuk Komunitas Salihara, utamanya MGR, atas undangan yang berharga ini.
4 November 2008
Zacky Chaerul Umam adalah perjaka kelahiran Brebes, Jawa Tengah. Ia adalah alumnus Departemen Sastra Arab Universitas Indonesiam Jakarta, dan sekarang sedang melanjutkan studi di Australian National university (ANU), Canberra. Tulisan di sini adalah ceramah penulis dalam rangka menyambut kunjungan Adonis di Indonesia.
Dunia sastra Indonesia patut berapresiasi. Sastrawan Arab yang juga pemikir Arab, Ali Ahmad Sa'id (akrab dipanggil Adonis), memberikan ceramah di Jakarta dan Yogyakarta, hingga Kamis esok. Di Salihara dan Utan Kayu, Adonis sudah memberikan beberapa aspek pemikirannya tentang "kebenaran puisi dan kebenaran agama". Sebetulnya tak saja kalangan sastrawan atau peminat seni dan sastra yang datang antusias mendengarkan langsung karya dan pemikiran dari sang penulis langsung. Karena ia mengkritik cara beragama, tentu saja kalangan agamawan dan masyarakat umum relevan dengan ceramahnya.
Tak terbayang. Adonis sudah tak asing. Saya pernah menulis satu resensi buku dan dua artikel tentang pemikiran Adonis di Kompas, tahun lalu. Akhir tahun lalu pula, skripsi saya "Kritik Kebudayaan Arab-Islam dalam Pemikiran Adonis", dengan telisik fenomenologi ,selesai dan mendapatkan "mumtaz" di Program Studi Arab UI. Padahal, baru setahun lebih saya mengenalnya sebelum skripsi ditulis. Dengan bantuan beberapa kolega, juga bantuan Amazon yang mahaluas, beberapa buku Adonis kudapatkan, meskipun harus membayar lumayan, saat itu.
Di ceramah dalam program Festival Salihara, Adonis menulis makalah panjang yang sebetulnya tak terlalu baru. Isinya akan sama ketika kita membuka lembaran kritiknya dalam "Al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts al-Ittiba' wa al-Ibda' inda al-'Arab" ([Mazhab] Yang Tetap dan [Mazhab] Yang Berubah]: Kajian Imitasi dan Kreasi di Kalangan Bangsa Arab); juga buku-buku yang lain. Intinya, puisi selalu menawarkan kebaruan, sedangkan (nalar) agama menentukan. Tidak ada yang baru dalam beragama, karena teks telah menjadi otoritas yang dibakukan, juga sudah ditelikung dengan kekuasaan dalam sejarah panjang peradaban Arab-Islam. Puisi yang baik, menurut Islam, harus mengikuti kaidah-kaidah agama. Kata Adonis, ini sumber kemunduran peradaban (inhithat al-hadlara). Seperti Plato, Islam awalnya tak menyukai ekspresi kebebasan bersusastra.
Puisi, sebaliknya, bukan bermuara pada satu sumber yang tunggal, tetapi membuka cakrawala keserbamungkinan yang malah tak bisa ditangkap oleh orang biasa. Puisi merupakan saksi zaman yang menggairahkan. Kalau agama (samawi) berprinsip pada monoteisme, maka puisi seharusnya bersifat terbalik. Kenapa puisi? Karena puisi, dalam dunia Arab, adalah intisari kesusastraan itu sendiri yang amat diagung-agungkan. Duga saya, Adonis selalu mengkritik agama (Islam) menjadi kekuatan yang tetap saja, sementara jika mau menjadi kekuatan yang berubah, ia lebih menggunakan kekuatan sastra. Tetapi, tidak hitam putih seperti ini. Meski Adonis mengungkap tentang ateisme sebagai "modernitas pertama", ia tidak anti-agama. Adonis menyerukan untuk "pembaruan dalam agama itu sendiri", bukan bermenung dalam kediamdirian.
Nah, jika jeli membaca buku Adonis yang disebutkan di atas, ia ingin meneguhkan suatu "bianglala peradaban". Adonis menghadirkan "sang liyan" (the others) dalam bangunan pemikirannya. Terutama dalam bidang politik, agama, sastra, gerakan kegamaan, filsafat, dan seterusnya. Makanya, ada yang bisa terjebak ketika berprasangka kenapa Adonis memuji Khawarij, Abu Nuwas, dan seterusnya yang menurut sejarah Arab-Islam umumnya selalu dipandang rendah. Kekuatan yang berubah, menurut Adonis, tak muncul dari satu arsenal, melainkan banyak segi. Yang ia puji dengan Khawarij, misalnya, adalah tentang kekuatan revolusioner dan kreativitas sajak. Juga dengan kekuatan klandestin Qaramith yang anti-hegemonik kekuasaan Abbasiyah. Pemikiran rasional khas Mu'tazili, hingga ateisme khas al-Rawandi dan al-Razi menjadi landasan kekuatan yang lain yang tidak terpaku pada keajekan. Juga, pendekatan kegamaan kaum sufi, yang tidak membuat atomisasi seperti dibuat para fukaha, adalah pendekatan esoterik yang membangkitkan kesadaran tertinggi dengan intuisi (al-dzawq). [Tentang yang terakhir sangat inspiratif membaca Al-Suffiyyah wa al-Suriyaliyyah "Sufisme dan Surealisme"]. Juga, yang ia paparkan lebih dari sepertiga buku yang berjilid 4 di atas, adalah kekuatan yang berubah dari para penyair dan kritikus Arab, klasik dan modern.
Kalau berpikir terlalu dini, ko bisa Adonis menjunjung rasionalisme dan ateisme sebagai kekuatan berubah, tetapi juga menyandingkan kegamaan esoterisme yang seolah-olah meniadakan akal, sebagai sama-sama kekuatan yang berubah (al-mutahawwil)? Adonis berasumsi, perubahan datang dari banyak hal, dan esensi utamanya ialah "kebebasan" (hurriyah). Dalam sebuah sesi diskusi, ia menyebut, agama sendiri sebetulnya menghargai kebebasan, tetapi kenapa kemudian banyak yang dogmatis. Dalam hal lain, kenapa ia terlalu keras mengkritik Arab-Islam. Kata dia, karena ia amat mencintai Islam, "Jika saya tak mencintainya, mana mungkin saya mengajukan kritik!" Yang dia sayangkan, "umat Islam hari ini kebanyakan tak bisa berpikir dan bernalar seperti ketika Islam datang pertama kali--tak berstandar kitab suci". Pernyataan ini, dalam bukunya yang lain berjudul "Al-Nash al-Qur'ani wa Afaq al-Kitabah" (Teks Quranik dan Cakrawala Penulisan), Adonis sesungguhnya memuji tradisi liteter Kuranik yang indah dan menawarkan kebaruan, hanya sayangnya kenapa kemudian umatnya cenderung tertunduk pada kejumudan. Kekuatan literer Kuranik yang luar biasa semestinya menjadi sumber kreativitas yang tak terbatas untuk berkreasi.
Kembali ke inti persoalan, perubahan atau al-tahawwul bisa datang dari mana saja, dengan syarat ketika ia tidak tersungkur karena hegemoni kekuasaan, sentripetalitas kebenaran, dan meniadakan sang liyan. Untuk itu, kajian fenomenologi yang cermat menekuni "kehadiran" dan "kegaiban" bisa sangat klop untuk memahami tulisan Adonis--meski Adonis sumir menyebut metodenya itu. Tetapi sepertinya, seperti ternukil sedikit dalam beberapa tulisannya, dalam hal filsafat, ia terpengaruh oleh Nietzsche dan Heidegger. Dalam sastra, tradisi surealisme mempengaruhi. Ia menyebut banyak tentang Rimbaud dan Baudelaire dari Perancis serta Rilke dan Goethe tradisi Jerman. Semangat penyair-kritikus Amerika, TS Eliot, sempat membuat pengaruh yang lumayan melalui Yusuf Al-Khal, kolega senior Adonis, hingga gerakan pembaruan sastra Arab yang dipimpin Adonis era 1950-an akhir mencuat. Saat itu, jurnal "SYI'R" sangat prestisius. Jurnal "Mawaqif" yang didirikan Adonis di Lebanon 1960-an, setelah pindah karena karut marut politik Suriah, kemudian menjadi jangkar pembaruan sastra Arab.
Sastra inilah, yang selalu menjadi subordinat dalam peradaban Arab era Formatif di abad pertama hijriah hingga menjadi stagnan, yang diangkat. Dan Adonis, menjadi "nabinya".
Yang saya telusuri baru kritik dan pemikirannya saja. Sebetulnya, inti karya agungnya terdapat dalam kumpulan-kumpulan puisinya, karena itu penting untuk menulis karya ilmiah tentang sastranya, dari segala sudut, khususnya dii negeri ini. Salah satu karya awal yang paling memberikan warna berjudul "Aghani Mihyar al-Dimasq" (Gita-gita Mihyar dari Damaskus), salah satu sajaknya, yang diterjemahkan Achmad Mulyadi, ilmuwan dari UIN Jakarta yang sempat memperdalam Arabistik di Jerman:
Seorang Tuhan telah mati/Tuhan yang dulu turun dari sana/dari tengkorak langit.//Siapa tahu/dalam ketakutan dan kehancuran/dalam keputusasaan dan di tandus tanah padang pasir/dari kedalamanku muncul seorang Tuhan
Lengkapnya, buku ini akan dilaunching Kamis esok. Goenawan Mohammad memberikan pengantar. Ini buku puisi kedua Adonis yang diterjemahkan Achmad Mulyadi. Konon, buku paling belakang puisi-puisinya yang berjudul "Al-Kitab" (1995, 1998) terinspirasi oleh Al-Mutanabbi, penyair besar era pertengahan di Arab yang ingin menyerupai kenabian, yang ingin "menandingi" otoritas kitab suci--baca: kitab suci kesusastraan.
Seperti tertulis dalam banyak kesempatan, di Indonesia, Adonis menegaskan pentingnya "kebebasan" sebagai prinsip dasar manusia. Liber libera phallus...
Demikian, sekadar mukaddimah saja. Terima kasih untuk Komunitas Salihara, utamanya MGR, atas undangan yang berharga ini.
4 November 2008
Zacky Chaerul Umam adalah perjaka kelahiran Brebes, Jawa Tengah. Ia adalah alumnus Departemen Sastra Arab Universitas Indonesiam Jakarta, dan sekarang sedang melanjutkan studi di Australian National university (ANU), Canberra. Tulisan di sini adalah ceramah penulis dalam rangka menyambut kunjungan Adonis di Indonesia.
1 komentar:
KEREN BANGET TULISANNYA...
Posting Komentar