Selasa, 18 Oktober 2011

SANG MAWAR

 Sebuah Cerita Untuk Sahabat Tercint 

Rose, karya Giorgia O'Keeffe
Oleh Robitul Ashar
Alumni Pesantren Cigaru
Tinggal di Patimuan

Pagi itu udara kering, angin menceriterakan betapa gersang alam saat kemarau, debu-debu terusik beterbangan menambah catatan kelam dedaunan. Mata memandang penuh harapan pada awan hitam dikejauhan. Sukma sekarat saat awan hitam tak bersisa, hanya menjelma embun pagi,yang hampir tiada arti. Sepenggal cerita balada anak manusia saat mengubur cintanya di padang sahara, karena cintanya menjadi seperti anak haram yang kelahirannya tak diharapkan, rasa sayangnya melimpah mengubur dalam-dalam kerinduanya yang tabu. Rasa kagum yang menggunung hanya mampu diceritakannya melalui sorot mata, inilah aku serang manusia yang terus berdiri di titik nadir.

Hari itu mungkin tak terlalu istimewa, saat Sang Mawar hadir dan tersenyum. Tubuhnya yang tak telalu indah ia letakkan begitu saja, di atas sofa ruang tengah yang cukup lebar, wajahnya yang cantik terlihat letih, matanya yang besar tajam dan indah terlihat sayu. Lama kami tak saling bicara, saat delapan teman kami menyela dengan saling bicara dan saling canda. Lalu tanpa sadar kami telah saling akrab dengan tanpa perkenalan yang terlalu exsklusif. Kami bersepuluh dalam sebuah rumah tua yang cukup besar, dan hanya untuk satu bulan kami harus hidup bersama. Sungguh kondisi yang membuatku sangat tertekan. Sebuah lingkungan masyarkat yang sama sekali berbeda dari lingkungan kami masing-masing sebelumnya, menjadikan suasana makin mencekam.

Saat awal hari-hari kami adalah bagian terburuk, dimana kami harus saling menyatukan fikiran, pendapat dengan seluruh latar belakang masing-masing yang belum saling tahu sebelumnya. Perdebatan sengit menwarni pertemuan-pertemuan awal kami, ini pun menjadi konsekwensi logis. Mata sang Mawar mulai bicara tentang ketidak sepakatan atas kondisi yang ada. Dan aku semakin tidak yakin kalau kami bisa bekerjasama seperti layaknya saudara.  Sebuah kondisi yang serba tak direncanakan, namun secepat mungkin harus terbentuk harmonisasi hubungan guna suksesnya rentetan agenda kegiatan. Hal ini membuat kami harus diskusi sampai larut malam guna mencapai kesepahaman. Dan ketika  keras keplaku reda, Sungguh tak terduga ternyata hubungan kami menjadi lebih dari saudara.
Lalu Mata Sang Mawar menyala menghangatkan ruang-ruang pekat hidupku, mencairkan setiap aliran darah, menjadi sukma yang menghidupkan segala yang mati,lalu optimisme menggenang, mendakhsyat. Saat malam mulai hening, keberadaan Sang Mawar kian nyata dalam mengilhami semuanya. Walau bungkam dalam seribu bahasa mata ini terus bicara tantang betapa aku mengagumimu, lalu malam menidurkanku tanpa mimpi,  Karena aku sadar bahwa pagi yang menjelang adalah sepenuhnya milik Sang Mawar.
Siang  yang cerah, angin menerbangkan debu jalanan,  kemarau menjadi  warna alam saat kami tenggelam dalam berbagai aktifitas. Canda riang, gelak tawa menyela lelah kami. Kopi hangat, kue-kue kecil  mengendurkan penat saat persoalan menghimpit. Kami bersepuluh terus berbagi,saling bantu, bahu membahu untuk mewujudkan cita-cita bersama, memberi manfaat serta kesan yang mendalam untuk masyarakat. Lalu kami pun menjadi saudara yang saling mencintai. Sang Mawar pun kian akrab, menjadi sahabat bahkan menjadi saudara. Matanya yang tajam, besar dan indah terus menyala sambil sesekali bicara tentang diriku yang rapuh, naif, serta penuh kekurangan. Aku terus berharap semoga aku dapat berubah menjadi lebih baik. Terima kasih Mawarku, kau harus terus ada untukku, matamu harus terus menyala dalam setiap detak jantungku.
Hampir tak disadari Sang Mawar telah menjadi bagian terdekat dalam hidupku. Saat kami saling memanggil adalah saat terindah hari-hari yang ku lalui. Pasang surut suasana menjadi catatan romantika kehidupan kami, melalui keberagaman kita dapat belajar untuk terus menyesuaikan diri demi terbentuknya sebuah pribadi-pribadi yang mapan, dan terus menumbuhkan kesadaran  bahwa keragaman menjadi sesuatu yang harus ada, demi terciptanya toleransi, dan saling menghargai. Tetapi sedekat apapun hubungan kami, aku tetap tak tahu banyak prihal pribadi Sang Mawar.  
Kulihat Mawarku sebagai sosok periang, yang menyimpan sejuta rahasia hidupnya. Ingin aku masuk dalam sejarah masa lalu hidupnya, namun wilayah tersebut menjadi kedap cahaya saat mata Sang Mawar berkata “Jangan masuki wilayah pribadiku,”. Lalu aku mundur, menepi bak seorang bocah yang melihat wajah garang ayahnya. Kami sehari-hari hanya cerita hal yang ringan-ringan saja, saat duduk bersama, saat makan bersama, tak ada banyak hal yang kita perbincangkan, selain hal ringan yang membuat kami saling tertawa, hal ini menjadi sangat wajar karena dengan ini kami melepaskan segala penat yang kami derita. Hari demi hari terus berjalan, namu aku yakin setelah ini aku akan berjalan sendiri menyusuri cahaya mata Sang Mawar yang terus menyala disepanjang jalanku,  satu hal yang kupinta jadikan aku sahabatmu, dan ijinkan aku menyayangimu, sebatas aku mampu, disepanjang hidupku. Kuharap ini tidak menjadi derita, namun hati yang berbunga membuatku bahagia dan hidup beerkali-kali. lalu…. 

September “06. 

 

Tidak ada komentar:

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer