Oleh Dina Amalia Susamto
Peneliti di Dewsn Bahasa Jakarta
Aktif menulis karya sastra
Sarinarendra, pendongeng kita. Namanya dikutip ayahnya dari dongeng rakyat yang bercerita tentang keelokan putri istana yang pandai memetik kecapi. Barangkali dongeng itulah yang kemudian membisikinya setiap hari untuk belajar memetik kecapi, hingga kini benda itu telah jadi bagian dalam hidupnya yang tak terpisahkan, menemaninya kemanapun ia pergi, mengembara, mengumpulkan dongeng-dongeng untuk ia kisahkan kembali dihadapan wajah-wajah yang sering dicadari dengan rahasia-rahasia duka di kedai-kedai kopi.
Duka memang bagian dari hidup manusia. Sarinarendra lebih sedih jika ia tak sempat bertemu dengan laki-laki paruh baya, yang suka mengenakan warna biru, yang menudungi selaput matanya dengan kesunyian yang getir tapi manis, kenangan yang indah tapi pahit yang memantul-mantul di dinding-dinding gelap. Ya, meskipun hanya satu kali saja, Sarinarendra ingin memetikkan kecapi dan mendongengkan sebuah kisah. Mungkin dongengan dapat membantunya membebat luka, seperti pelukan hangat yang mengeringkannya perlahan. Sarinarerndra bercerita tentang bocah perempuan dan malaikat buta. Inilah kisahnya:
Malaikat buta keluar melesat dari jendela sebuah café, seperti cahaya berwarna kebiruan. Nampaknya hanya seorang bocah perempuan yang melihatnya.
Sejak beberapa jam yang lalu, ia duduk saja di beranda café dengan pandangan takjub ke arah panggung kecil di pojok dalam café. Ia melihat melalui jendela kaca yang sangat transparan sambil tangannya tak henti-henti menghitung tasbih menyebut nama-nama Tuhan di manapun ia berada. Ia diajarkan ayahnya sejak kanak-kanak, kalimat-kalimat doa yang panjang, nama-nama Tuhan, dan salawat nabi-nabi dan rasul agar dapat masuk salah satu surga. Dan sejak ayahnya tiada, cita-cita hidupnya hanya ingin menyusul ayahnya. Ia sangat percaya ayah berada di surga Eden yang tamannya indah, dan di bawahnya mengalir sungai-sungai dengan mata air yang sangat jernih, penuh buah-buah apa pun, dan pelayan-pelayan cantik bernama bidadari. Jika menyusul ayah, pikirnya, apakah ia akan cemburu pada bidadari-bidadari?
Sejak beberapa jam yang lalu, ia duduk saja di beranda café dengan pandangan takjub ke arah panggung kecil di pojok dalam café. Ia melihat melalui jendela kaca yang sangat transparan sambil tangannya tak henti-henti menghitung tasbih menyebut nama-nama Tuhan di manapun ia berada. Ia diajarkan ayahnya sejak kanak-kanak, kalimat-kalimat doa yang panjang, nama-nama Tuhan, dan salawat nabi-nabi dan rasul agar dapat masuk salah satu surga. Dan sejak ayahnya tiada, cita-cita hidupnya hanya ingin menyusul ayahnya. Ia sangat percaya ayah berada di surga Eden yang tamannya indah, dan di bawahnya mengalir sungai-sungai dengan mata air yang sangat jernih, penuh buah-buah apa pun, dan pelayan-pelayan cantik bernama bidadari. Jika menyusul ayah, pikirnya, apakah ia akan cemburu pada bidadari-bidadari?
Tapi suatu ketika, setelah menyelesaikan rutinitas pekerjaannya menjaga warung, ia melihat ada yang tidak biasa. Saat itu ia sedang berjalan pulang ke rumah ibu angkatnya seseorang yang pernah membawanya dari kampong, rumah yang hanya terletak persis di belakang tembok café. Malam Sabtu di atas jam 10 malam, sesosok tubuh dengan cahaya kebiruan bergerak masuk dan keluar pada pukul 03.00 dini hari, melewati jendela yang terbuka lebar. Selalu melewati jendela sebelah pintu. Jendela yang sempit jaraknya dengan lantai, dengan ukuran sangat lebar. Kemudian ia duduk di kursi yang disediakan di atas panggung kecil, sambil memangku gitar yang sebelumnya juga sudah disediakan. Pemilik café dan tak seorang pengunjung pun tahu, bahwa ia keluar-masuk melalui jendela.
Ia sungguh pandai memikat hati pengunjung dengan suara bas dan pilihan lagu-lagunya. Ia laki-laki tampan, paruh baya, dengan gurat-gurat di dahinya yang tidak terlalu lebar, tapi juga tidak bisa dikatakan sempit. Gurat itu bukan jenis penuaan, lebih menarik karena mempunyai alur kisah tersendiri. Dan dari semua pengunjung, tak satupun yang mengetahui, bahwa ia Malaikat Buta yang datang dari negeri langit bernama Surga Eden, kecuali bocah perempuan itu yang senantiasa memikirkannya.
Ini minggu ke-7 bocah perempuan itu ikut menikmati resital gitar Malaikat Buta, hanya di beranda. Ia tak akan pernah mau memasuki café itu. Ayahnya pernah berpesan, jangan sekali-kali memasuki tempat-tempat seperti itu, apalagi buat anak perempuan, seakan banyak kejahatan di sana seperti tipuan-tipuan iblis buat anak perempuan dengan cara halus dan licik. Lagi pula café itu terlalu mewah, yang berarti penuh iblis-iblis yang suka ingin dilihat mewah. Bocah itu semakin teringat ayahnya, apalagi sesekali ada juga lagu kesukaan ayahnya terselip, dinyanyikan dengan sangat baik oleh malaikat buta di café itu. Ia sangat merasa bahagia. Mungkin iblis memang akan menipu bocah perempuan itu, karena ingatannya pada ayahnya.
Dengarlah, ia mulai sangat ingin berbicara pada Malaikat Buta. Ia mulai gelisah, ketika hanya bisa duduk memandangi dan mendengar suaranya saja. Minggu ke-8, ia memberanikan diri melanggar aturan ayahnya. Ia memasuki café itu. Tapi sebenarnya ia tak bermaksud akan melanggar pesan keramat ayahnya dulu. Ia hanya berpikir, ia ingin berbicara dengan seorang Malaikat Buta dari Taman Eden. Jika ia tak dapat kesempatan bicara, apa gunanya ia tahu tentang Surga Eden?
Sebenarnya bocah perempuan itu merasa tidak tahu apakah surga, kecuali janji-janji makanan dan minuman enak, serta sungai yang jernih, yang sungguh segar bila berenang di dalamnya. Justru itu lah ia ingin bicara pada Malaikat Buta, ia ingin tahu dan barangkali Malaikat Buta itu membawa pesan dari ayahnya. Apakah tentang pertemuan kelak, atau sesuatu yang harus ia lakukan sekarang, atau sekadar sapaan. Barangkali ia juga membawa mainan dari surga. Atau permen, es krim, coklat.
Bocah perempuan itu memasuki café melewati pintu yang biasa dilewati para pengunjung. Tak ada satupun pengunjung yang memperhatikannya. Begitu pun pemilik dan penjaga café.
Bocah perempuan itu mencium harum aroma kopi. Mungkinkah ini harum Taman Eden? Bocah perempuan itu juga sangat hapal harum bunga kopi, saat musim berkembang. Dulu. Di tanah ayahnya berladang. Rumah ayah yang terakhir juga disemayamkan di ladang, bertaburan bunga kopi. Tapi kini ladang itu sudah menjadi milik orang lain. Bocah perempuan tidak tahu, ladang dan makam ayahnya telah ditumbuhi pohon sawit.
Ia duduk di lantai depan panggung, tepat di hadapan Malaikat Buta yang sedang bernyanyi. Hai, Malaikat Buta, apakah kau utusan langit, yang datang mengembara sambil memetik gitar dan membawa pesan-pesan dari surga untuk orang-orang yang sedang rindu pada para kekasihnya yang telah tiada?
Tak ada yang menjawab pertanyaan itu, bahkan Malaikat Buta. Bocah perempuan itu tidak peduli, Ia masih duduk di sana, menunggu Malaikat Buta menjawabnya. Selama itu pula, pengunjung tidak ada yang melihat kehadiran bocah perempuan di depan panggung. Mungkin pengunjung melihat, tapi malas untuk menganggapnya ada; seorang bocah perempuan dekil yang biasanya ada di beranda, entah kenapa tiba-tiba berani masuk ke cafe itu. Terbersit pertanyaan mengapa satpam tak mengusirnya. Tapi membiarkan pertanyaan tentang bocah itu bercokol di kepala, sama dengan memberikan tempat untuk kejorokan bersemayam di sana.
Sementara bocah perempuan itu masih setia menunggu. Ia sama sekali tak merasa lelah tanpa sapaan, tanpa perhatian Malaikat Buta yang sangat dipujanya. Bocah perempuan sudah merasakan, betapa bahagia hanya duduk di hadapan Malaikat Buta, mendengar suaranya dari jarak dekat, dan melihat jemarinya yang lentik; seakan segala keindahan Taman Eden telah hadir di café itu. Ketika Malaikat Buta telah selesai dengan lagu terakhirnya, bocah perempuan itu berdiri, mengulurkan tangan kecilnya pada jemari lentik yang kini bebas itu. Tetapi Malaikat Buta melenggang turun panggung dan begitu cepat melesat dengan bayangan biru, keluar melalui jendela seperti biasanya.
Bocah perempuan itu mengejarnya. Tapi di luar ia tidak menemukan siapa-siapa. Tak sekejap sayap yang terbang di langit menjelang pagi dapat tertangkap oleh sepasang matanya. Bocah perempuan itu masih berdiri di belakang pagar, menatap langit. Ia mengambil tasbihnya yang sejenak tadi terlupa ketika ia duduk di panggung di hadapan Malaikat Buta. Ditatapnya lekat-lekat tasbih itu, yang diperolehnya ketika melangsungkan yasinan 100 hari kepergian ayah. Ia menggerakkan tangan kecilnya sekuat tenaga, melempar tasbih itu ke taman café. Terdengar “plung”! Bunyi itu seperti memecah keheningan sebelum azan subuh. Tampaknya tasbih itu jatuh tepat di kolam.
Betapa bodohnya aku memikirkan Surga Eden, pikirnya. Apakah tidak mungkin ayah bohong. Tapi bukankah Ayah berkata sesuai dengan kitab suci? Dan ia juga pernah membacanya sendiri sesuai dengan pengertiannya. Ayah, entah kemana ayah pergi setelah tiada. Kemana Malaikat Buta itu, yang mungkin juga hanya seorang pengamen pengembara yang sedang menghibur dirinya sendiri. Mungkin tak ada pesan dari Surga Eden. Mungkin sebenarnya tak ada pertemuan dengan Ayah nanti. Lalu bagaimana, ia rindu pada ayahnya, juga Malaikat Buta, yang telah membuat hatinya begitu bahagia seakan bertemu ayahnya. Kini satu tak dapat diharapkan menggantikan yang lain. Kini keduanya tak akan ditemukannya lagi.
Sejak itu, bocah perempuan tak pernah lagi datang ke café. Ia pun kini menggelandang. Ia bernyanyi, menjajakan lagu-lagu yang pernah ia dengar dari suara bariton yang merdu milik Malaikat Buta. Pada awalnya masih saja langkahnya setiap malam, melewati café itu, selalu menoleh beberapa saat, dan menunduk berkaca-kaca. Tapi kemudian, ia memilih pergi tertelan malam, tak pernah kembali. Tak pernah terpikir lagi tentang surga yang menjanjikan pertemuan manis dengan ayahnya, para bidadari, makanan dan minuman lezat serta sungai-sungai jernih yang dijanjikan.
Kelak kau melihatnya menjadi salah satu bunga di jalanan, yang selalu berlari-lari setiap ada petugas-petugas negara yang gagah berpatroli. Bocah perempuan itu sebenarnya tidak peduli, jika tertangkap sekalipun. Baginya siang dan malam sudah tak ada bedanya, karena tak ada lagi ayah, Malaikat Buta, Surga Eden dan harapan bertemu kembali. Menyanyi, menyanyi, dan menyanyi saja ia, semua lagu yang pernah ia dengar dari Malaikat Buta, meskipun ia tidak tahu untuk apa. Bahkan ia masih juga bergumam, ketika tangan-tangan kekar, kasar mengangkut tubuh kurusnya ke mobil patroli, sementara teman-temannya melawan, berteriak dan menangis.
“Kenapa masih saja menangis? Dan kau juga, dari tadi menyanyi saja?! Cepat mandi sana, sebentar lagi makan malam. Kalau kalian terlambat, habis! Ini panti asuhan. Jangan lari lagi ya? Kalian bisa makan, belajar, dan tidak harus kerja berat. Enak kan? Ayo mandi!” Bocah perempuan itu menurut saja apapun yang dikatakan oleh perempuan tua yang sejak tadi mengajak bicara padanya.
“Mulutmu tidak bisa diam anak manis? Suaramu bagus, tapi kenapa tidak pernah diam?” Bocah perempuan itu tak peduli, kini rambutnya sudah dikepang dua dengan manis, berpita, mengenakan pakaian baru yang bersih dan ia mengikuti perintah perempuan tua berjalan ke ruang makan. Perempuan tua itu mengajari sang bocah dan anak-anak lain yang baru datang cara mengambil makanan dengan rapi. “Ayo, kalau sudah, duduk sana.” Bocah itu mengangguk. Bergumam. Dan perempuan tua itu masih juga heran dengan mulut bocah perempuan yang tak pernah lelah menggumam.
Sampai beberapa detik kemudian, bocah itu berdiri saja. Matanya terbelalak. Mulutnya akhirnya terkunci. Apa yang membuatnya diam. Terdengar suara piring terjatuh di lantai. Nyaring. Seluruh isi di atasnya berhamburan. Perempuan tua tergopoh-gopoh membantu bocah perempuan itu. Tak lupa memarahinya.
“Sudah-sudah jangan dimarahi bocah ini, dia tidak sengaja.” Seseorang menghampiri dengan suara bas. Bocah menengadah memperhatikan pemilik suara itu. “Malaikat Buta.” Jerit bocah itu tertahan di mulutnya. “Halo, kudengar kamu pintar menyanyi, ya? Sekarang kamu mau menyanyi dulu atau makan?” Bocah perempuan itu mengangguk. Ia menunjuk gitar yang tersandar di kursi, di tengah ruang di antara meja-meja makan yang sengaja dikosongkan.
“Nah, semuanya, dengarkan.” Kata suara bas malaikat buta. “Ini teman baruku, akan jadi teman kalian. Namamu siapa?” Bocah perempuan menunduk. Wajahnya kemerahan. “Oh, ia baru bangun tidur dari masa kanak-kanaknya. Namanya Langit Pagi. Ia seperti langit pagi kan, lihat wajahnya semburat merah..”Semua tertawa. Bocah perempuan terkejut, dan wajahnya semakin merah. “Bagaimana Paman tahu, wajahku semburat merah, bukankah Paman buta?” Tanyanya memberanikan diri.
“Oh ..Tidak lagi.. setelah melihatmu.” Malaikat Buta tersenyum. Bocah perempuan tak percaya. Ia menatap sepasang mata malaikat buta. Baru kali ini dengan sangat jelas ia dapat melihat sepasang mata Malaikat Buta yang bentuknya agak sipit, tetapi ramah dan hangat. Sekarang tinggal satu pertanyaan, ia memandang jendela ruang makan itu, berganti-ganti ke arah malaikat buta. “Kamu tidak percaya aku tidak buta?” Ia menggandeng tangan kecil bocah itu menuju pintu yang berdekatan dengan jendela. Ia membuka pintu dan melewatinya, masuk ke ruang lain. Begitulah satu persatu, membuka pintu lalu melewatinya, masuk ke semua ruang dalam rumah itu. “Ini rumah kita.” Bisik malaikat buta. “Mungkin di sinilah surga.” Spontan bocah itu berkomentar dengan mata yang bercahaya.
Begitulah Sarinarendra menyelesaikan ceritanya dengan akhir yang begitu manis. Tapi ia masih memainkan kecapinya, sesekali memandang laki-laki paruh baya itu. “Kalau kau masih mau, kisah bisa diteruskan. Rumah panti asuhan itu baru awal sebuah kisah baru dimulai. Dongeng ini hanya pengantar.” Sarinarendra tersenyum penuh arti yang dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar