Sabtu, 08 Oktober 2011

Surat Kebudayaan Nahdlatul Ulama

Realitas kebudayaan kita akhir-akhir ini sedang berada pada posisi yang terus mengalami pengasingan—ditinjau dari keberadaanya yang kurang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan baik pada wilayah politik, ekonomi, sosial, maupun intelektual. Kebudayaan juga berada pada kondisi yang terus mengalami pemiskinan—ditinjau dari kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum. Krisis keindonesiaan yang sekarang ini mendera bangsa kita, basisnya adalah krisis kebudayaan ini. Posisi dan kondisi kebudayaan tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama:

1. Kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme pasar dan melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik kebudayaan sebagai khazanah pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan tindakan, maupun benda-benda hasil ekspresi budaya), sehingga manusia ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan subjek daripadanya.

2. Kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan lebih sebagai alat pendukung kekuasaan (legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai benda mati serta menjadikannya sebagai komoditas pariwisata untuk mengumpulkan devisa, yang artinya negara telah menempatkan dirinya sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan kebudayaan dan bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu sebagai kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagai formula bagaimana suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya).

3. Kekuatan formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl, sehingga tidak diperhitungkan secara proporsional dalam pengambilan keputusan hukum oleh para pemegang otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang mereka anut tersebut.

Atas dasar itu, untuk mengembalikan harkat kebudayaan sebagai artikulasi pemuliaan manusia dan prosesnya untuk mencapai integritas kemanusiaannya, sebagai arena penegasan dan pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia, kami merasa perlu mengambil sikap kebudayaan sebagai berikut:

1. Menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka.

2. Mengembalikan kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat, untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin.

3. Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat.

4. Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun–terlebih–sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan produk material yang mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan.

5. Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama.

6. Merumuskan dan mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.

7. Keindonesiaan adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami. Realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini.


Diputuskan pada Muktamar Kebudayaan NU I di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta.
1 Feburari 2010











Diposting oleh Faisal Kamandobat, Humas Mukatamar dan Ketua Sidang dalam Kebudayaan Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer