Senin, 17 Oktober 2011

Suminah

Robitul Ashar

Robitul Ashar
Alumni Pesantren Cigaru
Tinggal di Patimuan, Cilacap

“Oalah… Pak, mengapa nasibmu seperti ini!”  
 Mbok Minah, demikian panggilan Suminah, menangis sejadi-jadinya sambil terus mengguncang tubuh suaminya. kedua putrinya disamping kanan kiri pun terus meratap. Para  tetangga hanya berdiri tertegun melihatnya, seakan tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka merubung jasad Sumarto yang dibaringkan di atas meja tua yang kaki-kakinya sudah terlihat usang. Tubuhnya ditutupi dengan kain jarit wajahnya terlihat tenang, kerutan kulit wajahnya yang keras dan hitam menunjukkan ia seorang yang tegar dan tak kenal menyerah. Dua puluh tahun terahir hidupnya ia jalani dengan berat dan penuh penderitaan. Karena hanya dengan bekerja sebagai tukang Penggayuh perahu untuk menyebrangkan orang-orang yang terus berlalu-lalang, dengan penghasilan yang minim dan tak cukup untuk menghidupi dua orang putrinya yaitu Sumini, yang akrab dipanggil Sumi, dan Suminem yang akrab dipanggil Inem. Dan Suminah istrinya membantu Sumarto dengan mencari daun pisang di pekarangan tetangganya untuk dijual ke pasar.

Hari itu semua berduka. Sumarto, Suami Suminah sekaligus ayah kedua putrinya, meninggal karena terseret arus sungai Citandui, sungai besar yang menjadi batas dua Propinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pagi itu arus sungai deras dan besar karena semalaman hujan turun tak henti-hentinya. Saat Sumarto hendak memulai pekerjaannya sebagai pengemudi Perahu Sasak yaitu dua buah perahu yang dijajar kemudian di satukan dengan bambu yang ditata rapi, kemudian diikat sehingga membentuk lantai diatas perahu dan berfungsi untuk tempat penumpangnya. Sebuah alat transportasi tradisional yang masih digunkan di abad modern ini. Sungguh nahas nasib Sumarto pagi itu, saat kakinya menginjak batang kayu yang biasa digunakan untuk lewat penumpngnya naik ke atas perahu, ia terpeleset dan jatuh, kepalanya membentur ujung perahu, kemudian tercebur kesungai, lalu arus air yang deras dan berputar membawanya kedasar sungai, dalam keadaan yang tak sadar karena kepalanya yang terbentur membuat Sumarto tak sanggup melakukan penyelamatan. Dan jasadnya pun baru diketemukan sehari kemudian setelah air sungai surut dan arusnya kembali tenang.


Kejadian yang terjadi dua tahun silam itu, masih sangat lekat di benak Suminah dan kedua putrinya yang sekarang telah menjadi belia dan terlihat cantik-cantik. Sebuah kejadian yang menjadi awal penderitaan Suminah karena harus memikul beban kaluarga sendirian. Gubug bambu yang hanya seluas enam sampe tujuh meter, dengan ruang bale-bale yang sempit, dua ruang kamar yang pengap dan satu ruang dapur yang kotor dan sangat kecil, menjadi tempat Suminah dan keluarganya bernaung, dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai berlubang disana-sini, bahkan ada sebagian yang sudah ditambal dengan kertas kardus, menjadi tempat Suminah dan keluarganya berlindung dari dinginnya udara malam yang menusuk tulang. Atap dari daun nipah serta lantai tanah seakan turut menceritakan betapa berat Suminah dan kedua putrinya menjalani hari-hari dalam hidupnya.
“Hidup ini akan terus mengalir dan tak peduli kita kaya atau miskin, bahagia atau susah…  kita harus tetap tegar dan tabah …ma!” demikian kata Inem panggilan akrab Suminem anak kedua Suminah yang kini duduk di sebuah skolah menengah kejuruan kelas dua pada emaknya yang terlihat murung. “iya Nem emak juga sadar, karena ayahmu dulu juga selalu menasehati emak seperti itu”. jawab Suminah yang tidak ingin anaknya hawatir. “emak masih teringat saat kakakmu Sumini dinikahi Haji Samsudin, hati emak sungguh sangat-sangat sakit. Emak merasa bersalah kenapa emakmu ini miskin dan mengapa bapakmu begitu cepat meninggalkan kita”. Kata Suminah menceritakan mengapa ia murung. Memang setahun  setelah ditinggal mati Sumarto keluarga ini dalam kondisi yang sangat terpuruk. Kesulitan ekonomi serta berbagai cobaan hidup silih berganti. Lalu seorang duda tua gatel pensiunan pegawai negeri sipil, yang ditinggal mati istrinya tiga tahun silam datang melamar Sumini anak bungsu Suminah. Lelaki jompo ini menjanjikan hidup enak pada keluarga Suminah asal Sumini  mau menjadi istrinya.
Sumini gadis belia barmata besar indah dan tajam, dengan hidung mungil yang menawan, lesung pipit dipipi melengkapi kecantikannya, serta kulit sawo matang menyala, membuat gadis ini terlihat sangat menawan. Hingga setip mata yang memandang tak ingin mengalihkan penglihatannya. Dengan berat hati harus menerima lamaran H. Samsudin si kakek jompo itu, karena tidak tahan dengan derita hidup keluarganya. Apalagi jika melihat adiknya yang terancam putus  sekolah karena mahalnya biaya pendidikan. Ia berharap banyak pada Samsudin untuk dapat membantu kesulitan keluarganya. Selama setengah tahun dinikahi H.Samsudin kehidupan keluarganya dapat sedikit berubah, sampai kamudian si kakek jompo ini mati karena terkena strouk dan tak tertolong. Harta warisannya diperebutkan oleh ketujuh anaknya yang serakah, tanpa iba Sumini diusir dan harus kembali ke rumah Suminah Ibunya, dengan keadaan tetap miskin seperti sebelumnya. Sumini menjadi janda kembang yang sakit hati, lalu ketakutannya akan kesulitan keluarganya kembali muncul, adiknya yang kembali terancam putus sekolah,  semakin menambah sakit hati Simini, walaupun sebenarnya keperawanan Sumini masih utuh, karena Samsudin si-kakek jompo itu konon sudah tak sanggup berbuat apa-apa di atas ranjang. Setengah tahun hidup mereka telah ditopang oleh Samsudin, untungnya emaknya telah mulai berdagang kecil-kecilan di pasar atas bantuan modal dari menantunya, yang lebih pantas memjadi ayahnya yaitu H. Samsudin.
Hari semakin sore Suminah dan Suminem , ibu dan anak ini masih terus duduk-duduk diatas kursi tua yang sebagian kakinya telah diganti dengan bambu karena sudah lapuk dan patah. “Sudah sore ma…! mandi dulu” Inem mengingatkan. “Ya… aku juga harus masak air untuk mandi kakakmu nanti sepulang kerja”. jawab Suminah sambil terkejut karena terlalu jauh lamunan menerbangkan kesadarannya. Rasa sakit hatinya tak pernah padam bila mengingat anaknya ia relakan untuk dinikahi Samsudin si-kakek jompo itu, kesalahan setengah tahun silam terus menghantui Suminah.  Wanita parohbaya ini lalu bangkit dari duduknya dengan suasana hati yang pilu, rambutnya yang sudah mulai memutih terlihat acak-acakan, kulitnya yang keriput dan kusam menjadikan ia terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Beban hidup yang berat membuat ia harus terus bekerja keras, dan terus berjuang untuk menghidupi keluarganya. Ia melangkah menuju dapur kotornya yang sudah puluhan tahun ia gunakan untuk menghidupkan keluarganya. Kemudian ia masak air, setelah api menyala dan airnya dinaikkan ke atas perapian, ia segera ke sumur untuk mandi karena Inem anaknya sudah menunggu untuk bergantian.
Matahari condong ke barat, warnanya berubah merah jingngga, kegelapan merambat sedikit demi sedikit. Lampu-lampu kecil mulai menyala di setiap balai-balai, angin berhembus sangat pelan, menghantarkan hawa dingin menusuk. Para ibu sibuk mempersiapkan makan malam untul keluarga-keluarga mereka, para bapak sibuk mengemasi seluruh perlengkapan kerja, wajah-wajah mereka terlihat letih, ingin segera beristirahat dan kembali bekerja esok hari. Anak-anak mulai masuk rumah dengan segala keriangannya. Demikianlah suasana sehari-hari di kampung Suminah, sebuah kampung kecil yang memanjang di tepi sungai Citandui. “ Pulang Sum!.. terdengar suara kang Kardi tetangga dekatnya menyapa Sumini, sambil memsasukkan ayam-ayamnya kekandang. “iya kang!…” jawab Sumini pendek.  Mendengr itu Suminah segera bergegas membuka pintu untuk anaknya, setelah suminah masuk dan duduk, seperti biasanya ia segera mengambil segelas teh manis hangat, dengan makanan kecil seadanya. Kasih sayang yang sangat besar pada anak-anaknya tergambar jelas di wajah Suminah. “Sudahlah ma…!, biar Sumi nanti ambil sendiri,..” kata Sumini pada emaknya. “Engga apa-apa Sum, Emak juga enggak lagi ngapa-ngapain”. Jawab Suminah berkilah untuk membenarkan pekerjaan yang ia lakukan. Suminah melihat wajah lelah anaknya, namun sekilas terlihat seperti ada kebahagiaan yang berbeda tak seperti biasanya. Suminah mengacuhkan kondisi anaknya itu, karena hawatir anaknya tersinggung, bila ia menanyakan keadaan itu. “Ma..! tadi aku ketemu mas Haryadi, katanya dia sudah beberapa tahun merantau di Jakarta”. Kata Sumini pada emaknya, yang seakan masih ada sesautu yang akan ia ceritakan. “Kamu ketemu dimana ?” tanya Suminah. “ Tadi dia ke toko tempat Sumi kerja”. Jawab Sumini pada emaknya sambil senyum-senyum. “Dia sekarang sudah cerai dengan istrinya, katanya rumah tangganya tidak bahagia. Mungkin karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka, dan mereka tidak saling cocok”. Sumini menjelaskan. Masih lekat di benak Suminah, Haryadi dulu pernah menjalin cinta dngan Sumini anaknya, hapir enam tahun mereka pacaran. Hubungan mereka  selama pacaran terasa sangat dingin, karena konon keluarga Haryadi tidak merestui hubungan tersebut. Maklum Sumini seorang gadis  desa yang miskin, mungkin orang tua mereka malu memiliki menantu yang hanya anak seorang tukan perahu. Dan akhirnya Haryadi menikah dengan istri pilihan orang tuanya. Namun sebenarnya cinta Haryadi masih sangat dalam pada  Sumini, mungkin disepanjang hidupnya. “Jangan-jangan cinta lama bersemi lagi Sum…!” Kata emaknya menggoda. Sumini hanya tersenyum kecil. “aku memang masih sangat menyayangi mas Haryadi, tapi aku sudah terlanjur sakit hati, dan kalau pun ia mau kembali, aku sudah tidak sudi, terlalu dalam sakit hati yang ku derita ma..!”. Sumini dengan suara parau terus bicara perihal mantan kekasihnya, Haryadi. “Ya walau pun begitu aku merasa bahagia bisa bertemu lagi dengan mas Haryadi, karena memang hubungan kami secara pribadi baik-baik saja, namun yang paling membuatku sakit adalah ketidak beraniannya untuk memperjuangkan hubungan kita pada kelurganya”. Rasa hati Sumini semakin gundah bila mengenang masa lalu itu. “sudahlah Sum, mendingan kamu mandi dulu nanti airnya keburu dingin”. Tak mau anaknya terlalu jauh menyesali masa lalunya Suminah menyela dengan menyuruh Sumini untuk mandi. Sambil bangkit Sumini menyerahkan sejumlah uang upah ia kerja di toko Pak Sofan, sudah setahun lebih ia kerja disana. “ini untuk bayar biaya sekolah Inem, ia harus terus sekolah. Aku tidak ingin dia menjadi bodoh walaupun miskin”. kata Sumini, sambil terus berlau ke  belakang untuk mandi.
Suminah tertegun menerima uang dari anaknya, benaknya bergejolak “Rupanya cita-cita harus tetap tinggi, mimpi harus tetap melangit, walau kegagalan silih berganti, karena kita tidak tahu kemana dunia selanjutnya akan membawa kita”.  Mungkin tak seberapa uang yang diberikan Sumini, tapi ketulusan hati serta keinginan yang kuat untuk menjadikan adiknya seorang yang berpendidikan dan mandiri, menjadi tak terniali dengan apapun. Malam sudah dimulai, kegelapan kembali bicara melalui sunyi dan rintihan serangga. Dingin merayap lewat angin yang menyusup melalui lubang-lubang dididing rumah Suminah. Suasana menjadi hening, dari kamar terdengar Inem menghafal rumus-rumus dan membolak-balik buku sekolahnya. Suminah masih tetap duduk sambil sesekli meneguk teh pahit kegemarannya. Nafasnya naik turun, wajahnya terkadang terlihat tegang, terkadang terlihat semangat, terkadang terlihat sedih, terkadang pula terlihat gelisah.
Entah apa saja yang terlintas dalam fikirannya, hingga di sepanjang duduknya, raut wajah Suminah terus berubah-ubah. Hari-harinya yang panjang dan berat harus ia hadapi dengan tegar dan sabar, suminya yang meninggal dengan tragis, anak gadisnya yang menjadi janda, serta Inem yang masih butuh banyak biaya untuk menyelesaikan sekolahnya, sementara hasil jualan makanan dipasar hanya selalu paspasan saja. Seakan kondisi seperti ini tak pernah berubah hingga usianya menjadi paroh baya. Lama Suminah terdiam diatas tempat duduknya, sampai kemudian lelahnya menjadi kian terasa, kantuknya menyerang hebat, Suminah bangkit dari duduknya untuk beristirahat, karena esok pagi ia harus mempersiapkan dagangannya untuk dijual ke pasar. Tak sepatah katapun terucap sampai ia terlelap dalam tidurnya. Mungkin hanya pada saat tidur Suminah terbebas dari segala beban hidup yang menghimpit, melupakan segala kepenatan yang ia derita. Sambil terus berharap mudah-mudahan matahari yang hangat esok hari akan membawa perubahan dalam hidupnya.
Pagi itu matahari belum muncul, karena masih jam empat pagi, hawa dingin masih sangat terasa. Suminah dan kedua anaknya sudah sibuk bekerja, seakan hawa dingin yang menusuk tulang tak lagi mereka rasakan. Suminem sibuk membuka dan menata bahab-bahan yang hendak digoreng, Sumini dengan cekatan meramu adonan tepung yang dicampur  bumbu-bumbu, sementara Ibunya dengan lincah memasukan makana ke penggorengan. Semuanya bekerja, saling bahu-membahu untuk mempersiapkan aneka makanan yang akan dijual Suminah di Pasar. Tak ada yang saling mengomando atau dikomando, karena mereka semua sudah tahu apa yang mesti dikerjakannya, dan sudah bertahun-tahun mereka seperti ini. Menjelang pukul enam pagi semuanya sudah siap, Suminah berjalan didepan dengan menggendong makanan yang akan dijual, kedua anaknya mengiringi dibelakangnya dengan membawa perlengkapan lain. Demikianlan mereka setiap pagi Sumini dan Suminem mengantar ibunya sampai kepasar dan setelah menata seluruh dagangan emaknya mereka berdua langsung pulang, Suninem segera kesekolah sedangkan Sumini berangkat ke toko Pak Sofan untuk bekerja.
Pagi ini terasa agak berbeda dari biasanya, “Ma…! Kenapa jalannya cepat  sekali ?” tanaya Inem pada emaknya yang tak biasanya seperti ini. “Sudah jangan banyak tanya, emak sudah kesiangan !” jawab Suminah. “Bukannya biasanya juga seperti ini”. Inem semakin ingin tahu. “iya… tapi emak ada pesanan yang minta lebih pagi, emak lupa tadi”. Suminah menjelaskan. Suminah semakin cepat berjalan hingga kedua anaknya tertinggal beberapa meter di belakang. Rumah mereka yang tak begitu jauh dari pasar, hingga dalam sepuluh menit Suminah sudah keluar dari gang memasuki jalan raya. Sebenarnya tinggal belok kanan beberapa meter lagi ia akan sampai ke emper toko tempat mangkalnya, namun baru saja ia menapakkan kakinya beberapa langgkah di jalan raya tiba-tiba dari arah belakang sebuah mobil pribadi dengan kecepatan tinggi menabrak Suminah dari belakang, tepat mengenai gendongannya, tubuh suminah terlempar ketepi dadanya membentur patok kilometer yang tepat di tepi jalan. Tubuh Suminan lalu tersungkur ketanah, dari mulutnya mengeluarkan darah segar, jajanan yang ia bawa berhamburan kmana-mana. Celakanya sang pengemudi tidak menghentikan mobilnya  malah tancap gas dan kabur entah kemana. Sang pengemudi seakan tahu dia tak akan dikejar karena pagi itu masih sangat sunyi, toko-toko belum mulai buka, para pedangang yang biasanya hampir memenuhi jalan, juga belum terlihat baru satu dua.
“Emaaak ….! Kedua anak Suminah yang masih berada di Gang seperti dikompakkan spontan berterik sekuat tenaga memanggil emaknya. Keduanya yang tertinggal di belakang berlarian menghampiri emaknya. Suminah sudah  tergeletak di tanah, dia sudah tak ingat papun nafasnya terlihat sangat berat. Sumini dan Suminem terus berteriak memanggil-manggil emaknya. Orang-orang berhamburan keluar rumah ingin tahu apa yang terjadi terhadap Suminah, “cepat-cepat cari mobil, mbok Minah harus segera di bawa ke Rumah Sakit”. Teriak Somad pada orang-orang karena tidak tahan melihat keadaan Suminah. Tak lama kemudian sebuah mobil bak lewat orang-orang segera mengangkat tubuh Suminah dinaikkan ke atas mobil. Kondisi Suminah sangat parah dari mulut dan hidungnya terus mengeluarkan darah, sementra jarak Rumah sakit cukup jauh, orang menjadi tak yakin kalau Suminah dapat selamat dari maut.


 
Setengah perjalanan menuju rumah sakit, Suminah akhirnya menghembuskan nafas yang terahir tepat di pangkuan Sumini anaknya, tanpa sempat berpesan sepatah kata pun. Jasad Sumini dibawa pulang kembali untuk disemayamkan di rumah duka. Lalu  orang berdatangan melayat, Sumini dan Suminem berulang kali jatuh pingsan karena tak kuat menahan derita duka yang mereka alami. Setelah melalui  berbagai proses upacara keagamaan lalu jasad Suminah dibawa ke kubur untuk disemayamkan di tempat peristirahatan terahir. Orang-oarang terus merasa iba, tentang tragedi yang menimpa Suminah serta nasib kedua putrinya selanjutnya. Hari ini Suminah telah terlepas dari seluruh beban berat hidupnya, derita dan cobaan yang datang silih berganti kini tidak lagi ia rasakan. Semoga kini ia dapat beristirahat dengan tenang. Dan biarlah dunia menentukan kehidupan kedua putrimu selanjutnya.  

Tidak ada komentar:

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer