Oleh Faisal Kamandobat
I
Faisal Kamandobat adalah penyair, prosais dan eseis kelahiran Cigaru, Majenang, Cilacap. Karyanya telah dimuat di berbagai media massa, majalah, jurnal, dan antologi bersama. Ia bergiat sebagai redaktur di Jurnal Puisi Indonesia Rumah Lebah, humas di Bale Sastra Kecapi Jakarta, pembina Jaringan Komunitas Sastra Pesantren Matapena dan Komunitas Kebun Makna, serta peneliti madya di Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta. Sekarang sedang belajar di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta.
I
Para santri yang saya cintai. Tentu saja, sastra bukan hal baru bagi kalangan santri. Hampir semua materi pelajaran, mulai aqidah, fiqh hingga tata bahasa, disampaikan dalam bentuk sastra berupa nadzaman. Lebih lanjut dapat dikatakan, seorang santri dapat menaiki jenjang pengajian dari satu kitab ke kitab berikutnya, dari sebuah tingkat ke tingkat berikutnya, dengan melihat kemampuannya dalam menghafalkan nazdaman. Di kamar-kamar santri yang sederhana, atau di lorong-lorong pesantren yang khidmat pada tengah malam, atau di makam sang kiai yang keramat dan hening, para santri terangguk-angguk melantunkan nadzaman, antara tuntutan sikap khusyuk dan teror rasa kantuk, demi memenuhi standar kualifikasi dalam bidang pelajaran yang sedang dikajinya. Kenyataan tersebut menunjukkan di pesantren sastra telah menjadi ukuran penting yang menentukan sukses tidaknya seorang santri dalam studinya. Jadi, jika untuk menjadi seorang politisi seseorang disyaratkan memiliki cukup uang, pakaian bagus, kendaraan mewah dan kepandaian berbicara, untuk menjadi santri yang berhasil disyaratkan kecakapan dalam bidang sastra, yang di dalamnya terkandung etika, moralitas, teologi, hukum, filsafat, astronomi, dan bahasa. Sastra telah menjadi salah satu pilar penting yang membentuk dunia pesantren ke dalam tatanan yang koheren dan khas, yang oleh orang Yunani Kuno disebut sebagai kosmos.
Di samping nadzaman, yang lebih diperuntukkan untuk fungsi pengajaran dan melaluinya dunia pesantren diikat ke dalam tatanan yang koheren dan khas, kaum santri juga memiliki tradisi sastra dalam bentuk suluk. Bentuk suluk ini, sebagaimana dikatakan Nancy K. Florida, telah memberi sumbangan penting terhadap sastra Jawa, baik dalam jumlah naskah, bentuk estetik, serta kemampuannya dalam memberi orientasi terhadap kebudayaan Jawa. Pada tengah malam, ketika para petani sedang beristirahat setelah bekerja pada siang harinya, mereka menikmati suluk yang dilantunkan dengan berbagai metrumnya. Pada saat itulah orang Jawa, dengan cara yang halus dan indah, sedang digubah dan diisi ulang kandungan jiwanya, sehingga arah hidupnya perlahan mengikuti kandungan dalam suluk tersebut. Nadanya yang berputar berulang bergerak menuju titik pusat yang di ketinggian, di mana Tuhan secara simbolik berada. Bagi orang Jawa, mendengarkan suluk telah menjadi semacam mekanisme siklikal untuk menetralisir jagat rayanya: segala pedih-perih di bumi diobati di langit, paradoks dan kotradiksi di dunia didamaikan di angkasa; sebaliknya, segala yang ideal, agung, dan suci di langit diturunkan ke bumi, dengan mengikuti nada suluk yang perlahan merendah, sehingga dunia yang profan, terbatas, dan sementara, menemukan cermin sempurna untuk berbenah, hingga ke wujud penghayatan yang paling hakiki: maka material ekonomi yang diraih pada kerja di siang hari mendapatkan status ruhaninya di malam hari, pengalaman hidup yang sementara di saat bekerja memiliki harapan abadinya di puncak malam, dan segala yang terbatas dari apa yang mereka dapatkan saat bekerja menemukan gambaran tak terhingga yang dimanifestaskan dalam praktik syukur. Jadi, jika nadzaman berfungsi mengikat dunia pesantren ke dalam koherensi sosial dan kulturalnya secara internal, maka suluk memiliki fungsi eksternal dan sosial, dimana melaluinya api yang menyala di pesantren ikut memancar ke masyarakat di sekelilingnya.
Di luar suluk dan nadzaman, kita masih dapat mengingat, kendati dengan potret yang kurang jelas, tentang kuatnya tradisi dongeng yang adalah bentuk sastra paling imajinatif dan performatif. Pada masa kanak-kanak, di tengah malam yang senyap dan menakutkan, para ibu menentramkan jiwa anaknya yang gelisah dengan memberinya bermacam dongeng dan tembang. Mulai kisah pewayangan, sejarah Jawa, hingga kisah 1001 Malam. Dengan mendengarkan dongeng, rasa takut si anak terhadap hantu-hantu pun mereda, dahaga imajinasinya yang kering terpenuhi, dan sang ibu pun terpuaskan karena telah menyalurkan gagasannya untuk membentuk visi dan karakter anaknya, dengan sejenak bersikap sebagai seorang aktris sastra yang bersahaja. Peristiwa tersebut menunjukkan, betapa sastra telah (1) ikut membentuk perkembangan kesadaran seorang anak, (2) mengikat sebuah keluarga ke dalam identitas kultural tertentu, (3) memberi sentuhan imajinatif terhadap sejarah hidup sehari-hari yang kering dan mapan, (4) menghubungkan peristiwa masa kini dengan sejarah masa lalu, dan (5) membuat relasi historis antara sebuah kawasan dengan kawasan lain. Pada keluarga-keluarga tertentu, dimana akses buku lebih mudah didapatkan dan kesadaran membaca telah tumbuh, para ibu membacakan kisah-kisah dari berbagai negeri untuk putra-putrinya, sehingga tanpa sadar anaknya telah memiliki wawasan yang lebih luas daripada pergaulan lokal dengan teman-teman sebayanya, dan ketika anak itu tumbuh besar, ia tidak begitu kaget ketika seorang guru bercerita tentang globalisasi, modernisasi, dan keberadaan bangsa-bangsa lain. Itu terjadi karena sastra bukan imajinasi yang tak berpijak pada realitas, melainkan sebuah potret halus, imajinatif, dan kreatif atasnya.
Maka dapatlah dibayangkan, sekedar gambaran kasar: seorang anak yang dididik dengan sastra di keluarganya, ketika usianya menginjak remaja ia dikirimkan ke pesantren, dan di pesantren ia mendapatkan tradisi sastra dalam bentuk yang lebih canggih, dengan fungsinya yang penting, baik untuk pesantren sebagai sebuah institusi, maupun untuk menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakatnya. Jika setiap pesantren terdiri dari santri dari berbagai daerah yang berbeda-beda, maka di pesantren terjadi transmisi budaya antar wilayah, yang kemudian menyebar ke berbagai daerah manakala para santri itu telah lulus, dan menjadi seorang kiai yang cakap membuat nadzaman dan suluk, di samping mumpuni dalam berbagai furu’ ilmu agama. Maka jaringan antar pesantren, karenanya, pada dasarnya adalah jaringan sastra, yang dimanifestasikan dalam bentuk institusi pendidikan, perkawinan antar santri dan putra-putri kiai, ritual ziarah ke makam-makam kramat, dan kitab-kitab yang ditukar silang hingga isinya dibagikan secara adil dan merata ke semua santri, tergantung kesungguhan dan tirakatnya masing-masing; lalu akhirnya, semua itu (kitab, perkawinan, ziarah, institusi pesantren, geografi), ditulis kembali oleh seorang santri yang berbakat ke dalam bentuk sastra, sehingga terjadi produksi literer dan budaya terus menerus seperti yang kita kenal sekarang ini. Dengan cara itulah pesantren menemukan identitasnya, jati dirinya, betapa pun bermacam konflik terjadi di antara mereka sebagai dampak kompetisi, mulai jumlah santri, pengaruh sosial dan politik para kiai, perebutan sumberdaya ekonomi pesantren di antara para kiainya, hingga sikap pengelakan atau penolakan dalam proses perjodohan di antara putra-putri para kiai…
II
Sekarang, tradisi menulis nadzaman, suluk dan dongeng mungkin masih ada, namun pengaruhnya perlahan telah dikikis oleh budaya industri. Di ruang keluarga, para ibu lebih suka menyerahkan anaknya yang rewel kepada film kartun atau Play Station daripada memberinya sebuah dongeng yang ia warisi dari leluhurnya, para suami menikmati film drama atau action dengan berebut channel televisi dengan istrinya yang memilih sinetron dan telenovela daripada menikmati suluk dan macapat; di pesantren, para santri yang masih remaja lebih hafal lirik lagu-lagu pop daripada nadzaman, para kiai tidak sekedar mengurus santri, namun juga ikut mengurus partai politik dan menjadi penasehat pemerintah, tidak lagi menulis nadzaman dan suluk; di masyarakat, para petani yang dulu menikmati suluk tak lagi menemukan mekanisme untuk memberi muatan ruhani bagi rizki yang diperolehnya di siang hari, dan berbagai kontradiksi dalam hidup sehari-hari tak lagi memiliki media budaya yang mampu mandamaikannya di langit; sedang secara ekonomi, masyarakat pun lebih memilih kerja yang penuh persaingan daripada bagi hasil panen yang tak seberapa. Dunia bergerak cepat seiring derasnya arus individulisme sebagai dampak kepemilikan individu dalam kapitalisme, yang menenggelamkan jagat raya kita melalui migrasi modal dan barang, media informasi, arus migran para buruh, dan jeratan hutang.
Memang, semua itu (film, musik pop, game) pada dasarnya hanyalah sebuah media, yang fungsinya untuk mentransmisikan sebuah pesan. Namun semua itu mampu mengubah pesantren karena muatan-muatannya datang dari dunia eksternal yang menembus dinding pesantren secara perlahan-lahan, namun dengan tekanan yang kuat. Tanpa sadar, para ayah menyaksikan putra-putrinya telah memiliki pandangan hidup serta sikap yang berbeda dari mereka dimana agama hanya berlaku di ruang privat saat berhubungan dengan Tuhan, ikatan santri dengan kiainya perlahan mengendur, pengaruh kiai di masyarakat pun terus menyusut, dan kandungan dalam suluk dianggap ketinggalan zaman dan membosankan. Kosmos pesantren yang koheren, bersahaja, dan indah itu sedang ditantang oleh perubahan zaman; sebagian retak, sebagian lagi tercabik-cabik, dan sebagian yang lain lagi bahkan patah, seperti digambarkan dengan baik oleh Ahmad Tohari dalam Bekisar Merah, dan oleh AA Navis dalam Robohnya Surau Kami.
Di tengah situasi tersebut, sebaiknya kita tidak usah panik. Sebagai sebuah media, produk budaya industri seperti musik, film, game, novel, puisi, esei, dibuat untuk menyampaikan sebuah pesan, dan karena itu juga dapat digunakan oleh para santri untuk menyampaikan pesan-pesan budayanya, sama seperti para leluhurnya dulu menggunakan suluk, wayang, macapat, atau kethoprak. Itulah kenapa menjadi penting kehadiran para santri di dunia seni modern, baik sastra, film, atau industri multimedia. Namun pesan tersebut harus diolah sedemikian rupa agar dapat diterima, baik oleh kalangan pesantren maupun masyarakat secara umum, yang telah berubah sedemikian rupa: secara ekonomi telah terjadi pembagian kerja yang semakin kompleks, yang berakibat pada berubahan struktur sosial masyarakat, dan akhirnya secara kultural nilai-nilainya pun ikut berubah. Kita pun melihat kemiskinan tak ubahnya lautan yang mengepung pulau-pulau, para remajanya tidak lagi memiliki pertautan historis dengan generasi sebelumnya, ajaran agama kehilangan elan vitalnya di tengah situasi yang remuk redam, dan negara telah menjelma pabrik yang memproduksi harapan dan ketakutan dan kurang berhubungan dengan kenyataan.
Sastra yang baik adalah sastra yang mampu menggambarkan berbagai pergulatan manusia di tengah perubahan itu; dari kemampuan sastrawannya dalam memahami situasi masyarakat yang digambarkannya, serta menghayati tema yang dilukiskannya sedemikian rupa sehingga ia tidak hanya menulis dengan otak dan pena, namun dengan seluruh metabolisme kesadarannya, sehingga tidak hanya menghasilkan tulisan-tulisan yang klise, namun menghasilkan ide-ide yang mampu mengurai dan menggugah kesadaran masyarakat tentang siapa dirinya: sejarahnya, budayanya, ekonominya, dan akhirnya bagaimana mereka mendefinisikan dirinya di tengah berbagai situasi yang mereka hadapi, sama seperti para mushannif kitab dahulu menjawab tantangan bagi zaman mereka. Pun demikian halnya dengan para santri yang menggeluti film dan multimedia.
Minimal dengan cara itu akan lahir karya sastra dari pesantren yang mampu menjadi sumber inspirasi bagi para santri untuk mengatasi badai perubahan yang menghantam pilar-pilar sosial dan budaya pesantren. Mungkin menarik menggambarkan kembali jaringan perdagangan kaum santri agar kelak lahir para ekonom dan pengusaha dari kalangan pesantren sehingga dapat mengentaskan kemiskinan kaum santri yang telah dikenakan sebagai semacam kebanggaan, atau menggambarkan tradisi astronomi untuk menanamkan kesadaran saintifik bagi santri agar di kemudian hari lahir fisikawan, biolog, ahli kimia dari pesantren, atau menggambarkan seorang santri kelana yang gelisah mencari jati diri hingga ia pulang kembali ke rumahnya, mengerjakan ladang warisan orang tuanya, dan menulis biografinya sendiri dengan cara yang sama indahnya dengan Fariduddin Attar menulis Musyawarah Burung atau Paulo Cuelho menulis Sang Alkhemist. Dan bagi yang menggemari tema-tema sufi, mereka ditantang untuk membuat ajaran mistik turun ke bumi dan menjalar di lingkungan kerja, politik, akademi, di jalanan di mana para gelandangan menidurkan wajah mereka di udara dingin, agar Tuhan tidak kesunyian di langit namun semakin aktual dalam sejarah dan, lebih dari itu, menjadi Kekuatan yang membangkitkan sejarah itu, dalam kesadaran manusia. Dan agar semua tema itu menarik buat para pembaca, bolehlah diselipkan kisah cinta, bukan cinta yang klise namun cinta yang telah diubah menjadi metafor sehingga melaluinya denyut zaman ini dapat berbicara: kemiskinan dan kemewahannya, keangkuhan dan kesia-siaannya, sisi gelap dan sisi terangnya, dan akhirnya cinta itu dapat menjadi orientasi dari gerak sejarah yang tak menentu ini.
Maka sastrawan dituntut memiliki wawasan yang luas di luar bidangnya, dan mengalami pergulatan batin yang panjang dan sabar. Tanpa itu, sastra hanya akan dihasilkan dan dinikmati oleh kalangan sendiri; karena tidak mampu menggambarkan persoalan masyarakat maka ia pun akan kurang diterima oleh masyarakat, dan apalagi memberi arah perubahan sosial bagi mereka. Sastra menjadi makhluk pengasingan yang cantik, seperti Alquran yang ditulis dengan kaligrafi yang indah namun fungsinya lebih sebagai hiasan daripada bacaan. Tugas sastra pesantren adalah merebut Alquran yang indah itu dari sangkar dekorasinya, membuatnya hidup dan berkeliaran dengan bebas sehingga dapat menyentuh sisi gelap sejarah, dan menjadi tenaga hidup yang segar bagi manusia. Dengan cara itu, sastra dapat mengembalikan situasi sosial dan kultural yang chaos, kacau, tak menentu, untuk kembali menjadi cosmos yang koheren, tertib, dan tentram; sama seperti nadzaman dan suluk di zaman para leluhur dulu, yang diwarisi dengan penuh kecakapan dari nubuwat artistik Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Namun, manakala tatanan kosmos yang tertib dan tentram itu ternyata menyimpan penindasan diam-diam, maka tugas karya sastra juga untuk mengganggunya…
III
Namun dalam seni modern, kecakapan seorang seniman dalam menggambarkan persoalan sosial dan kultural saja seperti dalam cerita-cerita Jamil Suherman belum cukup. Sastra modern menuntut seorang sastrawan melakukan eksperimen yang menantang seluruh potensi kreatifnya hingga batas kemampuan terjauh. Tanpa menghadirkan temuan literer yang signifikan dalam estetika, sastra pesantren akan ditempatkan sebagai penggembira yang bermartabat dalam sejarah sastra modern kita, namun belum cukup untuk menjadi tonggak yang menentukan orientasi, bukan hanya bagi masyarakat santri, namun juga bagi kalangan sastra modern sendiri. Untuk itu, sastra pesantren harus menantang, dengan rendah hati namun penuh imajinasi dan daya hidup, bukan hanya tradisinya sendiri, namun juga modernitas sastra yang digunakannya. Dari kerja menantang baik tradisi maupun modernitasnya itulah kelak diharapkan akan lahir sistesa estetik yang diperhitungkan oleh kedua belah pihak, dan akhirnya dapat dibanggakan sebagai sumbangan gagasan dalam bidang humaniora, yang merefleksikan perjalanan sebuah masyarakat dalam usahanya mencapai puncak tertinggi serta jantung terdalam dalam filsafat estetika.
Usaha semacam itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dicapai. Beberapa sastrawan dari pesantren telah berhasil melakukannya, seperti A. Mustofa Bisrie, Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron dan Acep Zamzam Noor, setidaknya pada tingkat nasional dan regional. Karya-karya mereka dibaca, dikaji, dan dihargai dengan baik di lingkungan sastra dan akademi. Karya-karya Ahmad Tohari bahkan dianggap memberi sumbangan yang signifikan tentang dunia perdesaan di Jawa ketika bergulat menghadapi perubahan politik dan ekonomi. Namun sastra modern kita membutuhkan lebih banyak lagi sastrawan dari pesantren, dengan kualitas yang lebih baik lagi, dari tokoh-tokoh di atas. Dengan ketekunan dan kegigihan layaknya menghafal nadzaman, impian tersebut dapat lahir dari rahim kultural kita.
Namun bayi estetik jempolan itu tidak bisa lahir dengan sehat jika kita tidak tahu bagaimana mengandungnya, apa yang perlu kita konsumsi di saat mengandung, bagaimana melahirkannya dengan normal, mengasuhnya dengan baik hingga dapat tumbuh besar dengan visi dan jati dirinya yang kuat, visioner, menarik, dan menjadi teks yang selalu diacu terus menerus, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kata lain, sebuah karya sastra yang tidak berhenti sebagai produk industri penerbitan, namun mampu mengilhami temuan-temuan dalam bidang lain karena tawaran ide dan bentuk estetiknya yang segar dan penting untuk zamannya. Karya sastra yang tidak hanya menyuguhkan kecakapan teknik (studium) namun mampu memancarkan aura (punctum) sehingga wilayah di luar sastra ikut tergoda untuk terlibat dalam arus wacana yang diusungnya. Karya sastra jenis ini tidak hanya membuka lapangan kerja karena mampu menghidupkan sektor industri cetak, namun juga menghidupkan dunia ilmiah yang mandeg. Kelahiran karya semacam ini, karena itu, sama halnya kelahiran sejarah, di mana arah sejarah memandang masa depan bergantung pada mata panah yang diluncurkan olehnya.
Dan kita pun merenung, betapa menyatakan cinta dengan mengirimkan bunga akan berbeda dengan menyatakan cinta dengan mengirimkan sebuah obor yang menyala atau sebait puisi klise yang selalu diharapkan oleh orang-orang yang kesepian. Itu artinya, gaya bahasa sebagai capaian dalam teknik berbahasa (bunga, api, puisi) dan ideologi sebagai capaian pemikiran dan pergulatan batin (cinta) mesti tampil secara tepat dan luwes agar dapat berdialog dengan konteks pembaca yang luas dan berbeda-beda. Adalah benar kata Ali Syariati, “Jika Alquran ditulis tidak dalam bentuk puisi, barangkali sudah tidak ada lagi yang membacanya.” Itu artinya, bobot sebuah pesan, makna, dan ideologi, sangat ditentukan oleh cara dan gaya penyampaiannya yang memiliki semangat poetic, dalam pengertian memiliki bentuk yang merujuk pada dirinya sendiri sehingga melaluinya realitas yang diolah dapat diangkat ke level yang transenden, melampaui relativitas realitas yang serba pragmatik, dan karena itu dapat menjadi teks yang dapat dikatakan “universal”. Para seniman besar mencapai posisi itu dengan berbagai cara, mulai dengan melakukan eksperimentasi ide yang dibentuk dengan melibatkan wawasan yang luas dan pergulatan batin dengan realitas yang kompleks, hingga eksperimentasi gaya bahasa dengan mengolah kembali tradisi sastra lama seperti dongeng. Kita pun dapat melakukannya dengan melihat kembali strategi penulisan yang unik seperti pada retorika dalam teks-teks astrologis semacam primbon dan kitab ramalan lainnya, atau leksikografis dengan menulis cerita dalam bentuk sebuah kamus jaman baheula, atau dengan menyusun struktur peristiwa seperti arsitektur sebuah gedung, disain sebuah pohon, pola-pola pada karang dan kulit binatang, atau susunan tulang binatang langka. Sedang isi yang disalurkan ke dalam gaya retoris itu bisa sejarah sosial pesantren, mulai mekanisme pewarisan pengetahuan di pesantren, tradisi penulisan dan pembacaan kitab, hubungan perdagangan antar daerah dan pulau, persoalan kekerabatan, mistisisme dan astronomi, hukum dan dongeng, yang dibaca secara kreatif dengan menggunakan temuan-temuan ilmiah kontemporer dalam berbagai bidang mulai fisika, biologi, botani, astronomi, yang didapatkan secara cuma-cuma di sekolah, hingga ke ilmu sosial humaniora semacam sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu bahasa. Dengan begitu, lahirlah sebuah karya sastra yang tidak hanya menggambarkan realitas namun juga mempertanyakan dan menggugatnya, tidak hanya menjadi muara yang mempertemukan sungai ilmu-ilmu namun juga mempertanyakan ulang landasan pikirnya dan, semua itu disampaikan dalam sebuah kisah yang bentuknya menyerupai disain sebuah bunga atau pohon atau sungai yang dirancang oleh Tuhan ketika hendak menciptakan alam semesta yang penuh rahmat ini.
Dari semangat artistik yang bandel semacam itulah dapat lahir sebuah karya sastra yang memiliki kekuatan politik dalam percaturan gagasan, identitas, geografi, sejarah dan kekuasaan, sehingga mampu membentuk jati diri yang teguh dan visi yang jauh dan menggairahkan bagi para pembacanya. Dan itulah yang telah dilakukan penulis seperti Pramodya Ananta Toer, Naguib Mahfouz, Gabriel Garcia Marquez, Orhan Pamuk, Jorge Luis Borges, Tahar Ben Jelloun, Yasunari Kawabata, Pablo Neruda dan Chairil Anwar. Mereka menulis karyanya dengan menempatkan dirinya layaknya seorang kaisar memerintah sebuah negeri: ia mengatur para bawahannya dalam pemerintahan, memaksakan pada rakyatnya aturan dan hukuman, menanamkan pada mereka ideologi dan agar tidak gila juga memberi rakyatnya pekerjaan; singkatnya: ia mewujudkan gagasannya pada realitas bangsanya, dan menyusun gagasannya itu ke dalam bentuk negara ideal yang ada di kepalanya, dalam bentuk novel atau drama atau puisi, yang gemanya seakan mewakili irama misterius dari alam raya ini.
Maka untuk menjadi sastrawan besar tidak semudah menjadi seorang politisi, pejabat negara, profesional sebuah perusahaan, selebritis di industri media, atau meraih gelar profesor di sebuah universitas di Indonesia. Seseorang perlu memupuk semangatnya sejak remaja, mempelajari tradisi ilmiah dan literer dengan tekun, menggeluti persoalan aktual masyarakat dan bangsanya, hingga seiring dengan pertumbuhan usia, tumbuh pula wawasan, kecakapan teknik, dan kematangan literernya, dan pada saat sebuah ide telah matang setelah dikandung dalam permenungan, karya itu ditulis huruf demi huruf hingga menjadi sebuah buku. Dalam menjalani proses itu, seorang sastrawan mesti tahan menghadapi kesunyian, kemiskinan, dan pengasingan sosial, sebagai harga yang harus dibayar agar visinya dapat diterima oleh sejarah. Para santri yang terbiasa menghafal nadzaman, hidup sederhana dan kesunyian, mampu membayar harga itu; jika wawasannya terus berkembang, latihan terus diasah, dan tega mengkritik dirinya sendiri, melahirkan karya sastra besar akan terus terbuka peluangnya. Dan dengan karya itulah ia mampu mencipta sinstis estetik antara tradisi dan modernitasnya, menegaskan identitas bagi bangsanya, mendefinisikan teritorinya, sekali lagi: layaknya kaisar mengatur sebuah negeri…
IV
Namun, ketika sebuah karya sastra besar dilahirkan, ia selalu menimbulkan masalah: tepuk tangan penonton, rasa gembira yang memabukkan, pujian publik yang diulang-ulang seperti pita rekaman, popularitas yang membawa seorang sastrawan ke level pergaulan yang rumit di kalangan orang-orang penting, sehingga ia pun dipenjara oleh pergaulan dan kebanggannya itu, dan jauh dari realitas sosial dari masyarakat yang ia gambarkan dalam karya-karyanya. Tugas terakhir seorang sastrawan bukanlah ketika bab terakhir dari karyanya selesai ditulis, namun kecakapannya dalam menempatkan diri di tengah masyarakat, sama seperti seorang kiai yang mengunjungi kamar dan dapur para santri untuk memastikan mereka tetap belajar dan masih cukup beras dan sayuran, mengunjungi masyarakat yang sedang ditimpa persoalan, dan pada saat yang sama, di ruang pribadinya, ia menulis gagasan-gagasan untuk masyarakat zamannya dan zaman sesudahnya. Dengan cara itulah sastra tidak bersifat tekstual namun kontekstual, bukan hanya irama namun juga tindakan, bukan hanya gema melainkan juga gKKerakan sosial, yang menyulut sebuah pesan mulai ruang-ruang kecil hingga ruang-ruang yang lebih besar, dan membuat sebuah masyarakat atau bangsa menyala-nyala dan bangkit, dan getarannya dapat dirasakan hingga ke sudut terpencil di hati setiap insan, seperti irama nadzaman dan suluk setiap malam, ketika para leluhur menyusun sejarah mereka dan menjalaninya secara bermartabat dan bersahaja.
Jakarta, Senin 27 Desember 2010
Disampaikan dalam ceramah pada Liburan Sastra Pesantren se-Jawa di Pedesaan (LSdP) di Jogjakarta, Selasa, 28 Desember 2010.
Faisal Kamandobat adalah penyair, prosais dan eseis kelahiran Cigaru, Majenang, Cilacap. Karyanya telah dimuat di berbagai media massa, majalah, jurnal, dan antologi bersama. Ia bergiat sebagai redaktur di Jurnal Puisi Indonesia Rumah Lebah, humas di Bale Sastra Kecapi Jakarta, pembina Jaringan Komunitas Sastra Pesantren Matapena dan Komunitas Kebun Makna, serta peneliti madya di Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta. Sekarang sedang belajar di Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar