Sabtu, 05 November 2011

Filsafat Wujud Sebagai Modus Interaksi Cinta dan Kebijaksanaan (Hikmah)


Soim Ginanjar
Alumni PP Miftahul Huda Cigaru

Kehidupan manusia yang serba-serbi serta unik merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima dengan cermat, lantaran serba-serbi kehidupan dapat membawa kehidupan manusia melebihi aspek sisi kemanusiaannya (jiwa insani) atau bahkan justru terjungkal begitu dangkal melampui derajat kemanusiaannya (jiwa hewani). Hal ini perlu kiranya diwaspadai secara cepat dan tanggap agar manusia tidak mengalami adanya keterasingan diri (alienasi).
Pengetahuan dan Spritualitas merupakan sebuah rangkaian tanggung jawab yang satu kesatuan bukan sesuatu yang terpisah. Pemisahan atau membedakan keduanya dalam sebuah sekat yang terpisah hanya akan menimbulkan penyakit perdaban yang kompleks seperti yang berkembang di barat dan abad modern ini. Tak hanya itu, efek inipun kini sudah merasuki nalar keagamaan. Sebut saja pemisahan antara yang sakral dan profan (sekulerisme) dapat dipandang turunan dari model pikir dualistik ini.

Naskah sederhana sebagaimana  tertera pada judul diatas akan menjajaki cinta dan kebijaksanaan dengan melalui pendekatan filsafat wujud. Ada atau wujud adalah segala sesuatu yang kita temukan. Ia merupakan term yang tidak bisa di definisikan, lantaran semua definisi dalam bentuk apapun pastinya berpijak pada pemahaman wujud terlebiih dahulu. Ia adalah yang melandasi semua gagasan serta keinginan dan titik yang menmpakan semua bentuk. Jadi makna wujud disini adalah segala sesuatu, segala perkara, segala acuan, segala sebab akibat dan segala lainnya.
 Konsep wujud hadir dalam segenap semua yang ada sebagai seuatu atau ke-sesuatu-an. Apabila wujud itu sama dengan segala sesuatu maka diantara keduanya terdapat hubungan identitas yang meniscayakan kesatuan yang utuh dan sempurna. Jadi wujud mutlak tidak mungkin berbilang, karena diluar wujud mutlak tentunya merupakan ketiadaan mutlak. Dan ketiadaan mutlak merupakan hal yang mustahil dibayangkan, ditunjuk apalagi dibayangkan serta dituliskan.
Begitu dibyangkan, menunjuk, membicarakan atau menuliskan kata tiada maka tiada itu langsung mewujud sebagai bayangan, benda, bahan pembicaraan atau mewujud dalam tulisan t-i-a-d-a. Dengan demikian seperti kata Al-Quran kemana saja kita memalingkan di sana kita akan menemukan wajah Allah. Allah berfirman “ maka kemanapun engkau menghadap disitulah wajah Allah, sesungguhnya allah maha luas (meliputi segal sesuatu) dan maha mengetahui” (QS. Al-Baqarah:115). Ada dua sudut pandang dalam memandang wujud atau Allah : pertama, sudut pandang yang mengarah pada eleman-elemen himpunan wujud.  Disini  kita akan menemukan keragaman keberingkatan dan kenisbian, mengingat setiap elemen yang mewujud berbeda-beda dalam hal tingkatan keutamaan dan kesempurnaan; kedua, sudut pandang yang mengarah pada keseluruhan himpunan. Dari sudut pandang ini kit akan melihat bahwa semua kemaujudan todak lain dari bias-bias wujud yang tunggal dan tak terhingga.
Dari kedua sudut pandang ini lahir dua pendekatan terhadap wujud. Di satu sisi kita menyaksikan ketunggalan, ketakberhingaan, ketakterbandingan, kemutlakan Illahi, tidak ada yang mampu untuk membandinginya, tidak bisa dijangkau oleh semua makhluk karena memang hal itu diluar batas kemampuan manusia. Namun ternyata di sisi yang lain ada wujud yang yang tampak dan dekat dengan elemen-elemen himpunan yang serba nisbi ini, yakni wujud yang kita sembah, kita puji dan kita seru di dalam doa-doa kita.
Sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan” kami lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya sendiri”. Melihat hal ini berarti semua apa yang kita bayangkan, pikirkan bahkan hingga sampai yang kita benci tidak lain merupakan rentetan wujud yang nanti berakhir pada adanya wujud mutlak. Kemendasaran wujud menjadikan pengertian segala sesuatu tak mungkin mampu mendefinisikanNYA. Dia yang dzahir sekaligus yang bathin, semua berawal dariNYA dan akan kembali kepadaNYA. Cinta dan kebujaksanaan merupakan sesuatu yang harus dilakukan manusia, perbedaan itu merupakan sesuatu yang niscaya namun pembedaan itu adalah kesalahan orang yang buta. Oleh karena itu diskriminasi merupakan hal paling dilarang dalam agama Islam.
Dalam pengertian diatas membawa kepada sebuah konsekwensi kehidupan, bahwa manusia dituntut ikhlas dalam segenap perbuatannya. Ketika dalam kegiatan apapun manusia menyematkan tendensinya pada materi maka secara eksplisit berarti sudah melakukan pemaksaan diri untuk terjungkal pada jurang kenistaan, karena telah melakukan sandaran amal terhadap sesuatu yang fana inilah manusia yang bodoh, yang hanya suka membuat dunia ini lebih cepat kiamat. Hidup sempurna merupakan dambaan setiap hamba dan keikhlasan adalah merupakan alat untuk mencapai hal itu.

By: Soim Ginanjar El-Fauzy

Daftar Bacaan
Musha Kazim, tafsir sufi, jakarta: lentera,2004
Oliver leaman, pengantar filsafat islam, Bandung: mizan, 2005
Mullasadra, kearifan puncak, pustaka pelajar : jogjakarta, 2001
Muhammad Baqir As-Shadr, falsafatuna :Bandung, mizan, 1999
Murtadha Muttahhari, masyarakat dan sejarah : Bandung, mizan, 2000
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid : Bandung, mizan, 2003
 Sayyed Housen Nasr, filsafat perenial : Bandung, mizan , 1998

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saudara, ini tulisan pendek yang dapat dijadikan cermin buat pembaca.
Untuk mas redaksi, sebelum ditanyang, harap ada editing seperlunya, terutama masalah penulisan kata depan, kata ganti tempat dan beberapa lagi.
Salam,
Badruddin Emce

Setetes Makna

Tanpa keberanian, engkau hanyalah ternak...

-- Pramoedya Ananta Toer